Thursday, September 11, 2008

Kepala Dinas Tidak Punya Nyali Melaporkan Kegiatannya

Borneo Tribune, Bengkayang Kepala Dinas dalam hal ini Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkayang atas nama Drs. Luter Wongkar, Apt, M.Kes ternyata tidak punya nyali untuk melaporkan kegiatannya. Hal ini diketahui ketika hendak dikonfirmasi mengenai penyaluran kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan upaya pencegahan penularan penyakit malaria di kabupaten Bengkayang pada masa pancaroba saat ini diruang kerjanya, Kamis (11/9). Ketika ditemui diruang kerjanya, Luter mengatakan bahwa dirinya tidak berani melaporkan kegiatannya seperti tersebut diatas. Ia mengaku harus mendapat izin dari Bupati melalui Humas Pemda, apakah boleh atau tidaknya berbicara kepada media massa. “Kita tidak bias memberikan informasi apabila tidak ada izin dari Bupati, sesuai dengan surat edaran yang ada,” ungkapnya. Namun saat ditanya surat edaran Bupati Nomor berapa, tahun berapa, Luter juga tidak menyebutkannya. “Saya Lupa,” tambah dia. Sementara itu, saat dihubungi melalui telepon, Kepala Bagian (Kabag) Humas, Pemda Bengkayang, Drs. Gerardus membantah jika harus mengeluarkan surat edaran (semacam surat izin) agar Kepala Dinas di Kabupaten Bengkayang dapat mengeluarkan statemen di media massa. “Bagaimana seandainya ada sepuluh orang wartawan yang datang wawancara pada saat yang berlainan. Apakah harus membuat surat tersebut sebanyak itu,” Tanya dia. Yang benar menurutnya ialah setiap selesai mewawancarai Kepala Dinas, para wartawan wajib mengkonfirmasi hasil wawancara mereka ke pihak humas, apakah layak atau tidak dimuat dalam media massa. Merunut pengalaman penulis ketika bertugas di kabupaten Landak, hal semacam itu dimana kepala dinas harus ada izin terlebih dahulu baru kemudian bisa mengeluarkan pendapat oleh kepala dinas belum pernah didengar. “Surat edaran Bupati itu jangan disalah artikan oleh kepala dinas,” tandasnya. by Raja Borneo

Baca selengkapnya..

Wednesday, September 3, 2008

The Lost Generations by Muhklis Suhaeri

Awal Tragedi MUHLIS SUHAERI,Borneo Tribune, Pontianak “Dibalik peristiwa itu ada hikmah. Mungkin kalau tidak terusir, orang Tionghoa akan tetap di pedalaman, dan tidak bisa maju seperti sekarang,” kata Fung Jin. Begitulah, kalimat yang mengalir dari perempuan paruh baya ini, menanggapi peristiwa pengungsian besar-besaran yang dilakukan etnis Cina di sepanjang perbatasan pada September-Oktober 1967. Fung Jin tinggal di Pontianak. Usianya 58 tahun. Ketika peristiwa itu terjadi, usianya 21 tahun. Ketika itu, bersama keluarga dan pengungsi lainnya, dia berjalan kaki dari Toho ke Pontianak. Jaraknya sekitar 75 km. Dia berharap, peristiwa itu tak pernah terjadi lagi. Fung Jin adalah satu dari 70 ribu warga Cina yang mengungsi karena “demontrasi” atau ethic cleansing, pembersihan etnik yang dilakukan orang Dayak, terhadap orang Cina. Saat itu, sebagian besar etnik Cina hidup di pedalaman dan sepanjang perbatasan Indonesia dan Malaysia. Setelah peristiwa itu, mereka menyebar ke berbagai wilayah di Kalbar, Jakarta, Singapura, Hongkong, Taiwan, atau kembali ke Cina Daratan (RRC). Peristiwa itu berkaitan dengan penumpasan yang dilakukan militer Indonesia, terhadap para mantan anggota Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU). Keberadaan PGRS-PARAKU tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa konfrontasi yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Peristiwa ini biasa disebut Dwikora. Presiden Sukarno mengobarkan semangat rakyat Indonesia dengan semboyan “Ganyang Malaysia”, untuk merespon kondisi politik yang terjadi saat itu. Peristiwa Dwikora terjadi, karena Perdana Menteri Persekutuan Melayu, Tun Abdul Rahman ingin membentuk Negara Federasi Malaysia yang meliputi Semenanjung Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei. Malaysia yang berada dibawah negara Persemakmuran, segera mendekat ke Inggris. Tun Abdul Rahman menemui Perdana Menteri Inggris, Harold Mc Millan di London, pada Oktober 1961. Sikap Tun Abdul Rahman membuat DR AM Azahari meradang. Dia melakukan pemberontakan terhadap Brunei. Azahari mengumumkan berdirinya Negara Kalimantan Utara (NKU), dan pembentukan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU). Wilayahnya terdiri dari Brunei, Serawak dan Sabah. Pernyataan itu disampaikan di Manila pada 8 Desember 1962. Menurut JAC Mackie, Azhari pemimpin Partai Rakyat Brunei patut kecewa, karena dalam Pemilihan Umum Agustus 1962, dia memenangkan 54 dari 55 kursi di Dewan Distrik dan 16 dari 33 kursi di Dewan Legislatif. Malaysia menuduh Indonesia berada dibalik aksi pemberontakan ini. Namun, hal itu ditepis pemerintah Indonesia, dan tidak merespon masalah ini. Pemberontakan ini bisa diatasi. Inggris turut campur tangan memadamkan pemberontakan itu. Malaysia menuduh Indonesia berada di balik pemberontakan itu. Hubungan kedua negara langsung tegang. Pada 31 Mei - 1 Juni 1963, terjadi pertemuan antara Presiden Sukarno dengan Perdana Tun Abdul Rachman di Tokyo. Hal ini bisa meredakan ketegangan sesaat. Manai Sophiaan berpendapat, untuk merumuskan lebih lanjut hasil pertemuan Tokyo, diadakan lagi pertemuan para Menteri Luar Negeri tiga negara, yaitu: Indonesia, Malaya dan Filipina, di Manila dari tanggal 7-11 Juni 1963. Pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri ini, diperkuat dengan diadakannya Konperensi Tingkat Tinggi antara Perdana Menteri Tun Abdul Rahman, Presiden Macapagal dan Presiden Sukarno yang dilangsungkan di Manila dari 31 Juli - 1 Agustus 1963, yang hakekatnya hanya mengesahkan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri sebelumnya. Dalam perundingan tersendiri antara Presiden Sukarno dan Presiden Macapagal, disetujui apa yang dikenal dengan Doktrin Sukarno - Macapagal yang menegaskan bahwa Masalah Asia supaya diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri. Doktrin ini dengan serta merta ditolak oleh Amerika Serikat dan Inggris, karena dinilai dapat menggagalkan tujuan pembentukan Federasi Malaysia yang dirancang di London yang sebenarnya untuk meng-contain Indonesia. Hasil KTT Manila ternyata menggelisahkan London dan Kuala Lumpur. Tun Abdul Rachman menandatangani persetujuan dengan pemerintah Inggris mengenai pembentukan Negara Federasi Malaysia, 9 Juli 1963. Dan, pada 31 Agustus 1963, Negara Federasi Malaysia secara resmi akan diproklamirkan. Kondisi makin memanas, karena pemerintah Filipina juga mengakui Sabah bagian dari wilayahnya. Sultan Sulu di Pilipina, pernah meminjamkan Sabah sebagai pelabuhan untuk perdagangan Inggris. Pada 16 September 1963, Negara Federasi Malaysia terbentuk. Namun, pada perkembangannya, Singapura keluar dari keanggotaan. Begitu juga Brunei. Pembentukan Negara Federasi Malaysia membuat Indonesia marah. Pada 17 September 1963, pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur didemo rakyat Malaysia, pada 18 September 1963. Begitu juga Kedutaan Besar Persekutuan Tanah Melayu dan Inggris di Jakarta. Kedutaan Inggris di Jakarta, malah dibakar. Sejak itu, mulai terjadi konfrontasi Indonesia dan Malaysia yang dibantu Inggris. Presiden Sukarno mengobarkan semangat rakyat Indonesia dengan semboyan “Ganyang Malaysia”. Sukarno segera membentuk Dwi Komando Rakyat atau Dwikora. Yang berisi, “Perhebat pertahanan revolusi Indonesia dan bantu perjuangan Revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunei, memerdekakan diri dan menggagalkan Negara Boneka Malaysia.” Dalam pandangan Presiden Sukarno, terbentuknya Negara Federasi Malaysia, menjadi legitimasi bagi Inggris untuk “bermain” di wilayah itu, dalam rangka membendung laju pengaruh komunis. Saat itu, Sukarno sedang dekat dengan negara-negara komunis, seperti Soviet dan China. Bahkan, Indonesia juga telah membentuk poros Jakarta-Hanoi-Pyonyang-Peking. Menurut JAC Makie, terbentuknya Federasi Malaysia yang berada di lingkungan Persemakmuran, membuat Inggris merasa punya kewajiban memberi perlindungan secara militer. Ketika Malaysia baru merdeka, ada 2.000 tentara Inggris dan Australia di sana. Setelah Federasi Malaysia terbentuk, kekuatan militer itu, dengan cepat ditambah menjadi 50.000. Pembentukan Federasi Malaysia tidak berjalan mulus. Berbagai kekuatan menentang. Di Semenanjung Malaya, Front Sosialis Malaya, terdiri dari Partai Rakyat Malaya dan Partai Buruh, serta Partai Islam se-Malaya. Di Singapura, Barisan Sosialis, Partai Pekerja dan Partai Rakyat. Di Kalimantan Utara, Partai Rakyat Brunei dan Serawak United People's Party (SUPP). Khusus untuk Partai Rakyat Brunei di bawah pimpinan DR AM Azahari, sejak 1956 sudah mempunyai program, mengusir Inggris dari Kalimantan Utara. Presiden Sukarno menganggap Inggris dan sekutu terdekatnya, Amerika Serikat merupakan Neo Kolonialis atau Nekolim. Semangat anti penjajahan dan penghisapan yang dimiliki Sukarno, membuatnya ingin mengusir pengaruh Inggris di Malaysia. Namun, sebagian pihak menilai, konfrontasi terhadap Malaysia adalah “politik pengalihan” Bung Karno atas situasi sosial, ekonomi, dan politik domestik saat itu. Peneliti LIPI, Ikrar Nusa Bhakti dalam tulisannya di Kompas menilai, perekonomian Indonesia sedang sulit, akibat revolusi yang katanya belum selesai. Antara TNI AD dan PKI pun sedang terjadi persaingan. Dalam konfrontasi PKI mendukung Bung Karno, sedangkan ABRI “setengah hati”. Meski menghadapi kesulitan ekonomi, ABRI memiliki peralatan tempur tercanggih di Asia Timur. Peralatan perang itu dibeli dari Uni Soviet, untuk merebut Irian Barat. Pada masa Trikora (Tiga Komando Rakyat), Soviet mendukung Indonesia. Namun, pada saat Dwikora, Soviet enggan mendukung Indonesia. Soviet berpendapat, karena pengaruh PKI, Indonesia lebih condong ke RRC. Dalam konfrontasi itu, Malaysia didukung Inggris, Australia, dan Selandia Baru, sebagai sesama anggota Persemakmuran Inggris. Lie Sau Fat atau XF Asali, budayawan dari Kalbar berkata, ketika peristiwa Dwikora, banyak sukarelawan membantu perang dengan Malaysia. Mereka terdiri dari gerilyawan dan sukarelawan. Para pelarian dari Serawak, pada umumnya etnis Cina dan komunis. Sukarelawan berasal dari Singkawang, Bengkayang dan berbagai wilayah di Indonesia. Mereka terdiri dari berbagai etnis. Ada Melayu, Dayak, Cina di Indonesia dan Cina dari Serawak. Yang merupakan pelarian dari Malaysia, ketika masih dijajah Inggris. Tahun 1967, Indonesia sudah berganti pemerintahan. Orde Lama dianggap pro komunis, karena ingin menjadi bagian dari poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Beijing. Amerika dan sekutu, membuat perang domino untuk membendung pengaruh komunis menyebar. Maka, Amerika menempatkan pasukan dan menyokong perang Korea. Hingga pecah perang Korea yang membuat Korea terpecah menjadi dua. Korea Utara yang komunis dan Korea Selatan yang pro Barat. Di Vietnam, Amerika tidak bisa membendung laju komunis. Bahkan, tentaranya harus hengkang dari Vietnam. “Nah, karena Malaysia mulai bergolak, sekutu membuat suatu strategi, untuk membendung masuknya komunis,” kata Asali. Indonesia menerjunkan pasukannya ke Semenanjung Malaya, dan mengirim pasukan untuk menyusup ke berbagai wilayah di Kalimantan Utara. Dengan strategi gerilya, pasukan ini berhadapan langsung dengan pasukan Inggris yang terdiri dari pasukan Gurkha. Selain melakukan perang langsung dengan Malaysia, Indonesia juga merekrut kelompok perlawanan yang menentang pembentukan Federasi Malaysia. Antara lain dengan pucuk pimpinan TNKU, Azahari, Serawak United People’s Party (SUPP), dan lainnya. Menurut Soemadi, dalam satu pertemuan di Sintang, 1963, Azahari dan perwakilan dari SUPP bertemu dengan Perdana Menteri Subandrio. Hasil kesepakatan, beberapa kelompok perlawanan itu, dilebur menjadi satu dengan nama PGRS dan PARAKU. Kelanjutan dari kesepakatan ini, sebanyak 850 pemuda-pemudi dari Cina Serawak menyeberang ke Kalimantan Barat. PGRS punya wilayah operasi di Sanggau hingga Sambas. PARAKU wilayah operasinya dari Sanggau hingga ke Serawak. Untuk memenangkan pertempuran melawan Malaysia, PGRS-PARAKU dilatih tentara Indonesia. “Saat itu, kita melatih PGRS-PARAKU untuk dipergunakan membantu memerdekakan Malaysia. Mereka dilatih oleh RPKAD di Bengkayang,” kata Letkol Harsono Subardi, mantan Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura. Menurutnya, PGRS kebanyakan orang Cina Serawak. PARAKU sebagian besar dari Sabah. Dua kelompok ini ideologinya komunis. Lalu, kenapa pemerintah RI melatih anggota komunis? Konfrontasi dengan Malaysia “Saat itu, RI memang zaman Orde Lama, dan Bung Karno tidak melarang ideologi komunis,” jawab Letkol Harsono Subardi, mantan Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura. PGRS punya koran. Namanya Lae Tung Po. Isinya berbagai tema tentang gerakan PGRS. Menurut Edward Tenlima, mantan Danlanud Singkawang 2, Bengkayang, banyak sukarelawan datang dari Malaysia, dilatih secara kemiliteran di Sanggau Ledo, Bengkayang. Setelah itu, mereka kembali ke Malaysia melakukan penyusupan. Sukarelawan itu sebagian besar dari Cina Serawak. PGRS dilatih di tempat rahasia dan jauh dari perkampungan masyarakat. Alasan pemilihan Sanggau Ledo sebagai tempat latihan, daerah itu pusat pemukiman orang Cina. Seperti, di Piong San dan Sepang. Dengan cara itu, para sukarelawan yang sudah dilatih, lebih mudah mengajak orang Cina di daerah itu, bergabung menjadi sukarelawan dan melawan Malaysia. Daerah itu juga dekat dengan perbatasan Malaysia sebelah barat. Jaraknya sekitar 43 kilometer. Kedatangan awal para anggota PGRS ke Sanggau Ledo dibenarkan Thong Fuk Long, biasa dipanggil Tomidi. Dia diminta tentara menjadi penerjemah para gerilyawan. Ketika itu, Tomidi menjadi guru bahasa Indonesia di Sanggau Ledo. Kebetulan, dia menguasai bahasa Mandarin, Belanda, dan Khek. Pada akhir Desember 1963, ada 31 orang dari Serawak, Malaysia datang ke Sanggau Ledo. Mereka para pentolan PGRS. “Kami mendapat persetujuan dari pemerintah RI, untuk memerdekakan Sabah dan Serawak. Pemerintah minta etnis Cina untuk membantu. Kalau bukan etnis Cina, siapa lagi yang bantu,” kata Tomidy menerjemahkan pembicaraan itu. Tentara malah meminta seorang fotografer mendokumentasikan kegiatan latihan para anggota PGRS-PARAKU. “Saya tahu tempat latihan mereka, karena saya ikut tentara dan memotret mereka latihan,” kata Bong Bu Tjin. Setelah dilatih di Indonesia, mereka dikembalikan ke Serawak. Yang ketika itu ingin memerdekakan diri. Bong kadang ke hutan dan mengikuti berbagai operasi yang dilakukan tentara. Selain di Sanggau Ledo, ada beberapa tempat yang digunakan. Misalnya Singkawang. “Latihan tidak resmi. Tentu saja supaya bisa perang. Latihan itu selama 15 hari. Senjata tidak diberikan Kodam. Senjata juga tidak lengkap. Maksudnya, tidak satu orang pegang satu senjata,” kata Sarwono WHD, eks Waasintel Kodam XII Tanjungpura. Menurutnya, setengah dari jumlah anggota PGRS-PARAKU hidup sendiri di tengah masyarakat. Diurusi penuh oleh Kodam juga tidak. Setahu dia, yang urus banyak. Salah satunya dari Badan Pusat Intelejen (BPI). Ya, maklumlah urusan politik, katanya. Operasi intelejen khusus tidak ada. Kodam hanya memberikan bahan untuk bergerak. Misalnya, wujudnya latihan yang ikut diproses intelejen. Jadi, intelejen tidak bergerak sendiri. Intelejen lebih didominasi (BPI). Saat itu, BPI lebih banyak dikuasai PKI. Yang mendirikan barak-barak di sepanjang perbatasan adalah BPI. “Kalau yang lewat orang PGRS-PARAKU, mereka yang pakai. Kalau tentara Indonesia yang lewat, ya, mereka yang pakai,” kata Sarwono. Barak itu ada di sepanjang perbatasan Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Putussibau, Benua Martinus, hingga Badau. BPI bergerak sendiri dan tidak mengikutsertakan Kodam. Cuma, Kodam tetap diberitahu. Ketika itu, BPI bermarkas di garasi rumah orang di Jalan Gajah Mada, Pontianak. Tapi, ia lupa alamatnya. Selain PGRS-PARAKU, Indonesia banyak merekrut sukarelawan. Mereka dilatih di beberapa tempat. Salah satunya ada di Singkawang. Sebagian besar yang mengurus dari BPI. “Kapan masuknya ke Kalbar juga tidak jelas, karena itu urusan Pusat dan bukan Kodam,” kata Sarwono. Operasi tentara di perbatasan dipimpin Brigjen Supardjo dari Kodam VII Diponegoro, Jawa Tengah. Dia Panglima Komandan Tempur (Pangkopur) di Kalbar, sepanjang perbatasan. Brigjen Supardjo sering keliling kampung sendirian, tanpa pengawal. Orangnya ramah pada penduduk kampung. Setiap ketemu masyarakat, dia mau menyapa duluan. Orang kampung juga heran. Ini ada jenderal jalan sendiri tanpa ada yang mengawal. “Setiap ada orang Cina, bakal dikunjungi. Dia berkawan dengan orang Cina. Orangnya baik sekali. Sering mengajak masyarakat untuk bicara,” kata Durani, warga Dusun Sebol, Desa Tiga Berkat, Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang. Brigjen Supardjo memberikan ultimatum kepada penduduk di Bengkayang, membuat lubang di belakang rumah setiap penduduk. “Lubang itu berfungsi menghindari bom, bila ada serangan udara,” kata Supardjo. Satu keluarga satu lubang. Lubang itu berbentuk hurur L. Dalam satu meter, panjang tiga hingga empat meter. Makin banyak jumlah keluarga, makin besar lubangnya. Perintah membuat lubang di belakang rumah dilakukan serempak bagi warga di sepanjang perbatasan. Syahrir Mochtar dari Putussibau, memaparkan pengalaman yang sama. Setiap rumah diperintah membuat lubang di belakang rumah. Semasa konfrontasi dengan Malaysia, banyak tentara Indonesia diterjunkan secara langsung ke Semenanjung Malaya. Untuk wilayah Kalimantan Utara, operasi lebih banyak dilakukan melalui jalur darat. Sungai Kapuas menjadi urat nadi mobilisasi pasukan. Pelabuhan Pontianak, dulu bernama Pelabuhan Dwikora, menjadi pendaratan pasukan dari Jawa. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri sungai Kapuas, menuju perbatasan Malaysia bagian barat. Semitau dijadikan basis penyerangan ke Malaysia. Jalan darat belum banyak dibuat. Kalau ada pasukan baru datang, mendarat di Semitau. Kodim ada di Semitau. Jarak ke perbatasan lebih dekat dari sungai. Masa konfrontasi hampir tidak ada perahu Bandong yang berangkat atau datang dari Pontianak. Jalur sungai yang menjadi urat nadi dan jalur utama transportasi masyarakat, menjadi rawan. “Orang tidak berani mengarungi sungai yang kala itu, dijadikan sarana utama bagi mobilisasi pasukan dari Pontianak,” kata Syahrir. Akibatnya, semua rakyat jadi sengsara. Bahan pokok menjadi susah dan mahal. Bahkan, jatah beras bagi pegawai negeri, baru bisa diambil 6-7 bulan sekali. Sangking sulitnya transportasi. Malaysia lebih bersikap bertahan, dan hanya berusaha membendung masuknya tentara Indonesia ke Malaysia. Usaha Malaysia dibantu tentara Inggris dan Australia. AURI menyiapkan 8 Tu-16, 4 P-51, 9 B-25, 2 C-130, 11 C-47, serta 4 Il-14, dinyatakan siap. ALRI juga menyatakan kesiapannya dengan menempatkan ratusan kapal didukung pesawat terbang serta beberapa batalion marinir. Celakanya, kekuatan AURI harus berhadapan dengan AU Inggris dan AU Australia yang melindungi negara persemakmurannya. Kekuatan gabungan Inggris-Australia diduga terdiri dari 50-an bomber, 24 Hawker Hunter, 24 Gloster Javelin, 30 F-86 Sabre, serta 6 skadron pesawat angkut dan 12 helikopter. Belum dihitung skadron rudal Blood Hound serta 2 skadron pesawat siap di Australia. Pertahanan Malaysia makin sempurna dengan dukungan pasukan darat dan laut. Semua terdiri dari 27 batalion, 16 batalion artileri, belasan kapal, serta pasukan Gurkha (Angkasa-online). “Dalam berbagai pertempuran, tentara Malaysia lebih banyak berada di garis belakang menjaga perbatasan. Yang lebih banyak bertempur adalah, pasukan khusus Gurkha,” kata Halim Ramli, wartawan senior di Kalbar. Gurkha adalah pasukan bayaran yang dipakai Inggris sejak Perang Dunia Kedua. Mereka orang tangguh dan biasa hidup di pegunungan Himalaya. Semasa konfrontasi dengan Malaysia, banyak sekali tentara Indonesia meninggal di pertempuran. “Setiap hari ada 3-4 tentara dibawa dengan helikopter dari daerah perbatasan,” kata Jomandi Loka, warga Singkawang. Saat itu, dia duduk di bangku SMP Singkawang. Setiap hari menyaksikan mayat diangkut ke Rumah Sakit Umum Singkawang (sekarang RS Santo Vincentius, Jalan Pangeran Diponegoro 5 Singkawang). Karenanya, Taman Makam Pahlawan di Singkawang, isinya sebagian besar tentara dari Jawa. Terutama dari pasukan Diponegoro, Jawa Tengah. Tak hanya melalui pertempuran, Indonesia juga melancarkan perjuangan secara diplomatik. Ketika Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia keluar dari PBB dan membentuk Conefo (Conference of New Emerging Forces). Suasana politik makin keruh dengan terjadi peristiwa penculikan terhadap para jenderal di Jakarta, pada 30 September 1965. Sembilan petinggi militer diculik. Peristiwa ini menimbulkan rentetan dan peristiwa kemanusiaan lainnya. Inilah lubang hitam sejarah bangsa Indonesia yang hingga kini masih misteri. Banyak muncul buku dengan berbagai teori mengenai peristiwa ini. Ada yang menganggap, peristiwa ini pemberontakan PKI. Ada yang berpendapat, rivalitas di tubuh Angkatan Darat. Teori lain, usaha dan kekuatan asing mengakhiri kekuasaan dan politik Presiden Sukarno. Banyak teori bersliweran hingga sekarang. Satu yang pasti, akibat peristiwa ini, ada sekitar 2 jutaan orang dibantai dan meregang nyawa, karena dianggap anggota dan simpatisan PKI. Peristiwa 30 September berimbas pada tentara di lapangan. “Posisi tentara pada waktu G30SPKI dalam keadaan sulit semua. Siapa kawan dan lawan, tidak jelas,” kata Sarwono. Hal itu tentu sangat rawan bagi jalur komando. Kodam XII Tanjungpura juga kesulitan mengetahui mana kawan dan lawan. “Setelah itu diketahui Asisten 1, Letkol Langlang Buana dan Asisten 2, Letkol Kestam, termasuk sebagai anggota PKI,” kata Sarwono. Sarwono datang ke Kalbar pada tahun 1963. Dia berasal dari Jawa Tengah. Hal serupa diungkapkan Edward Tenlima atau Edo. Dia menjadi pilot pesawat Mustang dan berpangkalan Lapangan Udara (Lanud) Abdul Rachman Saleh, Malang, Jawa Timur. Pada 2 Oktober 1965, dia diminta terbang bersama puluhan pesawat tempur lainnya ke Jakarta. Bila sebelum operasi pilot tahu, operasi apa yang akan dijalankan, malam itu dia tidak tahu. “Pokoknya kenakan pakaian dan terbang,” kata Edo. Dia terbang menyisir laut utara Jawa. Begitu mendekati udara Jakarta, tiba-tiba mendapat perintah mendarat di Bandung. Selanjutnya, dia harus mengenakan terus baju pilot siap tempur dan berada di samping pesawatnya, menunggu perintah selanjutnya. Hingga sebulan lebih, dia berada di samping pesawat tempurnya. “Pokoknya, harus siap terus. Makan dan tidur tidak boleh jauh dari pesawat,” kata Edo. Dari empat pilot pesawat Mustang yang ada, hanya dia yang boleh terbang. Alasannya, karena dia dari Ambon. Lainnya dari Jawa dan “dianggap berbahaya.” Dia mendapat perintah langsung dari Wakil Perdana Menteri (Waperdam) III, Leo Watimena yang kebetulan orang Ambon dan dekat dengan Suharto. Pasukan udara yang dipimpin Umar Dani, Waperdam I, dianggap lebih dekat kepada Presiden Sukarno. Pangdam XII Tanjungpura yang ketika itu dipimpin Brigjen Ryakudu, juga mengalami kesulitan, mana kawan dan lawan. Semua serba tak jelas. Pascaperistiwa 30 September 1965, ada pesawat dari Jakarta yang menyebarkan selebaran dari udara di Bengkayang. Isinya, Jakarta dalam kondisi aman. Peristiwa itu terjadi sekitar 1966. Brigjen Supardjo, Pangkopur di perbatasan dituduh dan dianggap sebagai anggota komunis. Dia ditangkap dan dihukum. Beberapa penduduk perbatasan mengingat pesan yang disampaikan Supardjo, “Nanti pada tanggal 30 September, jangan keluar rumah. Takut kena hujan yang tak bisa diobati,” kata Durani, menirukan ucapan sang Jenderal. Pada 11 Maret 1966, Presiden Sukarno memberikan mandat kepada Jenderal Suharto. Pengalihan kekuasaan ini disebut dengan Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret. Perubahan kepemimpinan, turut pula memengaruhi kebijakan pemerintah. Konfrontasi dengan Malaysia dihentikan dengan pertemuan di Bangkok, Thailand pada 28 Mei 1966. Pemerintah Indonesia dan Malaysia mengadakan perjanjian damai pada 11 Agustus 1966. Perdamaian ini, berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah Indonesia. Juga kepada para tentara dan gerilyawan yang pernah direkrut, untuk membantu konfrontasi dengan Malaysia. Yang Terbuang Pascakonfrontasi Perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Malaysia, sangat berpengaruh terhadap para tentara dan gerilyawan yang berada di lapangan. Menurut Bong Bu Tjin, ketika itu ada juga pasukan dari Kodam VII Diponegoro tidak ingin perang berhenti. Mereka melanjutkan operasi di Malaysia dan bergabung dengan pasukan PGRS-PARAKU “Mereka kecewa, karena tentara dari divisi ini paling banyak menjadi korban dari perang dengan Malaysia,” kata Bong Bu Tjin. Bong banyak kenal tentara dan ikut dalam berbagai kegiatan tentara. Dia jadi fotografer para tentara. Banyak tentara yang cerita padanya. Bong pernah memotret Jenderal Ahmad Yani, Nasution dan Suharto, ketika berkunjung ke Kalbar. Mayjen Suharto adalah wakil Komando Dwikora. Panglima Dwikora Omar Dhani. Ketika Indonesia dan Malaysia menghentikan konfrontasi dengan pertemuan dan menghasilkan kesepakatan damai, penanganan sisa anggota PGRS-PARAKU diserahkan kepada kebijakan negara masing-masing. Begitu juga dengan gerilyawan PGRS-PARAKU yang sebagian besar berideologi komunis. Pemerintah Malaysia mengampuni dan membina para mantan gerilyawan ini. “Mantan PGRS dibina. Bahkan, ada yang diberi modal, sehingga bisa menjadi pengusaha. Di Malaysia, mereka pakai bintang merah 3,” kata Edo, mantan Danlanud 2 Singkawang di Bengkayang. Di Indonesia, para anggota PGRS-PARAKU diminta menyerah dan meletakkan senjata. Sebagian ada yang meletakkan senjata. Namun, ada juga yang tidak mau. Mereka kuatir, pemerintah Indonesia bakal menumpasnya, karena ideologinya komunis. Apalagi pada saat bersamaan, ada pengejaran dilakukan terhadap para anggota PKI di Jawa. Menurut Soemadi, pemerintah menyerukan pada gerilyawan untuk meletakkan senjata dan menyerah. Namun, hanya 99 orang yang menaati. Sedangkan 739 tidak melakukan perintah. Senjata mereka diperkirakan 538 pucuk. Terdiri dari Bren, Sten Gun, Senapan dan pistol. Sarwono WHD, eks Waasintel Kodam XII Tanjungpura berkata, setelah konfrontasi dengan Malaysia, yang paling berperan masalah politiknya. Pergantian kepemimpinan membuat kebijakan terhadap PGRS-PARAKU juga berubah. Ironis memang. Ketika Indonesia dan Malaysia konfrontasi, mereka direkrut dan dilatih melawan Malaysia. Begitu kondisi damai. Mereka diburu dan dikejar. “Yang melatih kita, yang mengejar juga kita,” kata Sarwono. Akhirnya, para gerilyawan masuk kembali ke hutan. Tentara banyak juga yang menjadi korban dalam pertempuran. Korban terjadi, karena PGRS-PARAKU sudah tahu taktik dan cara perang gerilya yang dilakukan TNI. Ada suatu taktik dalam perang gerilya, pencegatan biasanya dilakukan di hutan. Di sawah tidak bisa dilakukan penyergapan, karena daerahnya terbuka. Dalam perang gerilya, mereka melakukan penyergapan di gunung. Di gunung biasanya tentara berjalan berpencar. Satu dengan yang lain jaraknya agak jauh. Tujuannya, ketika ada penyergapan, bisa menghindar. Di depan pasukan, biasanya ada penyisiran dulu dilakukan. Ketika di tanah datar, jalannya merapat dan berkumpul. Taktik itulah yang diberikan pada PGRS-PARAKU dalam pelatihan. Teori ini dibalik oleh PGRS-PARAKU. Ketika tentara berjalan di sawah dan jalannya berkelompok, serta tidak melakukan penyisiran di depan pasukan, PGRS-PARAKU menyerang tentara. Tentara tidak siap dan tidak menduga bakal diserang. Karenanya, banyak tentara terbunuh di persawahan Bengkayang. Bahkan, sekitar 37 tentara dari Siliwangi meninggal semua. Operasi penumpasan tidak mendapatkan hasil sesuai harapan. Sejumlah operasi yang dilakukan gagal di tengah jalan, karena keburu tercium. Operasi yang dilakukan sering gagal, karena bocor informasinya. Hal ini dirasakan betul prajurit di lapangan. Idang Supandi, prajurit Kopassus yang ketika itu berpangkat Kopral, sangat merasakan sulitnya operasi. Dia melakukan operasi dalam penumpasan anggota PGRS-PARAKU di Benua Martinus, Kabupaten Kapuas Hulu. Dalam melakukan operasi, dia selalu menggunakan pasukan kecil. Tujuannya, supaya bisa bergerak lebih cepat. Sulitnya medan operasi dan komunikasi yang selalu bocor, membuat operasi tidak menunjukkan hasil maksimal. “Kita seperti main kucing-kucingan. Ketika ada informasi musuh ada di salah satu bukit, begitu kita kejar sudah tidak ada. Selalu begitu,” kata Idang. Kebocoran informasi terjadi karena ada sebagian anggota BPI pro komunis. Selain itu, penumpasan mengalami kesulitan, karena anggota PGRS-PARAKU kebanyakan orang Cina. Yang merupakan komunitas etnis tersendiri, dan punya bahasa sendiri. Sehingga intelegen tidak bisa masuk. Perkembangan politik pascaperistiwa G30SPKI, sangat tidak menguntungkan gerilyawan. Apalagi dengan perdamaian antara Indonesia dan Malaysia. Karenanya, penumpasan gerilyawan PGRS-PARAKU di Kalbar, menurut Soemadi, punya empat kerangka besar. Pertama, dalam rangka pemulihan kembali hubungan Indonesia dan Malaysia. Kedua, dalam rangka pemulihan ketertiban dan keamanan umum. Ketiga, dalam rangka pembersihan G30SPKI, serta dilarangnya PKI dan Komunisme atau semua faham Marxisme-Leninisme-Maoisme, termasuk pelarangan semua organisasi pendukungnya. Keempat, dalam rangka pelaksanaan Doktrin Hankamnas dan Doktrin Perjuangan ABRI. Apalagi dengan keluarnya Surat Rahasia Pangkolaga No. R-33/1967 tertanggal 17 Februari, tentang pelaksanaan “security arranggement on the border regions” yang memuat, pertama; penyusunan dan pembentukan Komando Perbatasan. Kedua, Pengendalian Operasionil langsung dibebankan kepada Koandakal cq. Kodam XII Tanjungpura. “Setelah tahun 1965, PGRS bongkar senjata dan lari ke hutan. Sebelumnya mereka memang diajari berbagai taktik perang oleh tentara Indonesia. Ada taktik perang gerilya, melakukan penyusupan dan lainnya,” kata Edo. Yang dimaksud Edo adalah peristiwa penyerangan gerilyawan PGRS-PARAKU terhadap Lapangan Udara (Lanud) 2, Singkawang di Bengkayang. Edo mantan pilot pesawat Mustang. Ia hampir meninggal dunia, karena pesawat Mustang yang dipilotinya mengalami kerusakan mesin, setelah lepas landas di Pangkalan Udara (Lanud) Abdulrachman Saleh, Malang, Jawa Timur. Di seluruh dunia, sebagian besar pilot pesawat Mustang yang jatuh, bakal meninggal. Karena radiator pesawat ada di bawah tempat duduk pilot. Ketika mengalami kecelakaan pesawat, Edo sempat dirawat selama tiga bulan di rumah sakit. Setelah sembuh, dia tak pegang pesawat tempur lagi. Dia ditempatkan sebagai pasukan biasa di AURI. Dia ikut operasi penumpasan PGRS-PARAKU pada 1967-1969, dan tergabung dalam Operasi Samber Kilat. Gabungan pasukan dibubarkan seiring dengan penghentian operasi yang dilakukan militer. Setelah itu, dia ditempatkan sebagai Danlanud 2 Singkawang, pada 1970-1972 dan 1972-1974. Menurut Edo, Lanud Singkawang 2, dibangun pemerintah Belanda pada 1939. Tujuannya, menghadapi invasi Jepang. Belanda membangun pangkalan di Sanggau Ledo, karena letaknya dekat dan menghadap Laut Natuna. Jadi, strategis untuk mendukung secara persenjataan. Pangkalan dilengkapi dengan landasan pesawat terbang. Panjang landasan 900 meter. Landasan terbuat dari pengerasan batu. Dasarnya cukup kuat. Bagian atas landasan berupa rumput. Landasan dibuat untuk ukuran pesawat saat itu. Seperti, B25, B26, Dakota. Saat itu, hanya ada satu pesawat yang pernah uji coba. Ketika pangkalan belum siap dan belum ada kekuatan militer yang masuk, tentara Jepang keburu masuk ke Indonesia. Pembangunan pangkalan tidak dilanjutkan. Belanda sudah kalah dengan Jepang. Setelah Jepang kalah perang, fungsi pangkalan dikembalikan sebagai pangkalan pendukung oleh pemerintah Indonesia. Dulu, hanya ada seorang perwira berpangkat Mayor sebagai Komandan Lanud. Sekarang ini, ada dokter dan perwira lainnya. “Pangkalan Singkawang 2 merupakan pangkalan kecil. Karena ada peristiwa PGRS, namanya menjadi naik,” kata Edo. Di pangkalan ada gudang senjata berukuran 5 kali 10 meter. Temboknya terbuat dari beton setebal 30-40 cm. Ada penutup pintu besi setebal satu inchi. “Dibom pun, gudang itu tak akan runtuh,” kata Edo. Pada 16 Juli 1967, gudang senjata diserbu gerilyawan PGRS yang dipimpin Lim A Lim. Ketika itu, hanya ada empat orang yang menjaga. Memang ada peraturan, pasukan tidak boleh membawa senjata ke rumah, dan harus diletakkan di gudang senjata. Sistem jaga 24 jam. Pergantian bisa pagi dan sore. Sekali jaga ada empat orang dan 24 jam nonstop. Penyerangan terjadi pada hari Minggu, menjelang pagi. Saat kondisi penjaga sudah mengantuk. Ada tiga anggota AURI tewas. Sekitar 150 pucuk senjata dirampas dan ribuan amunisi dibawa gerilyawan. Senjata yang dirampas antara lain, LE, senjata peninggalan perang Dunia ke II. G3, senjata otomatis, dan lainnya. Setelah gudang senjata dibongkar, komandan pangkalan langsung diganti. Setelah itu, dikirim pasukan tambahan dari Jakarta. “Mereka tidak menyangka, pasukan PGRS akan menyerang, karena selama ini mereka adalah kawan dan pernah dilatih tentara,” kata Edo.□ (bersambung) Operasi Tempur Setelah peristiwa pembobolan gudang senjata di Lanud 2 Singkawang, Bengkayang, dimulai operasi besar-besaran menumpas PGRS-PARAKU. Sulitnya medan membuat pengiriman perbekalan dan logistik dilakukan dengan berbagai cara. Pengiriman perbekalan dilakukan melalui jalur darat, udara dan air. Bila medannya sulit, perbekalan dikirim dengan pesawat udara. Caranya, menerjunkan dengan payung udara. Perbekalan juga didatangkan lewat sungai. Lalu, bagaimanakah cara militer menanggani para gerilyawan ini? “Dalam operasi militer, ada operasi tempur dan operasi teritorial,” kata Letkol (Pur) H. Zaenal Arifin, eks Komandan Batalyon 402 Sintang. Terakhir, Zaenal adalah pejabat Bupati di Ketapang. Zaenal pernah melakukan operasi pertempuran Trikora di Irian Jaya dan Permesta di Manado. Di Permesta lebih sulit operasinya, karena para pemberontak dibantu Amerika Serikat. Senjata yang dimiliki Permesta lebih canggih dan modern. Bahkan, Amerika juga mengirim para penerbangnya. Salah satunya yang pesawatnya tertembak di sana. Penerbang pesawat itu bernama Allan Lawrence Pope dan sempat menjadi tawanan pemerintah RI. Ketika bertugas di Kalbar, Zaenal berpangkat Mayor. Menurutnya, dalam ketentaraan dibagi menjadi beberapa pasukan. Ada regu, terdiri dari 11 orang. Satu Peleton terdiri 26 orang. Satu Kompi terdiri dari 100 orang. Satu Batalyon terdiri dari 500 orang. Sebagai komandan batalyon, ia melatih dan memperbaiki kemampuan batalyon yang dipimpinnya. Setelah itu, mengirimkannya ke daerah perbatasan, untuk menghadapi pemberontakan PGRS-PARAKU. Senjata yang biasa dipakai oleh PGRS-PARAKU adalah lenvit. Batalyon yang dipimpinnya terdiri dari 3 Kompi Tempur dan 1 Kompi Markas. Markas Kompi ada di Sintang. Kompi A dan Kompi Markas berada di Sintang. Kompi B di Sanggau. Kompi C ada di Nanga Pinoh. Belum ada jalan darat yang memadai. Semua perbekalan dan operasi dilakukan melalui jalur sungai. Perjalanan dari Sintang ke Sanggau, sekitar 12 jam dengan perahu, karena dari hulu. Kalau dari Sanggau ke Sintang, sekitar 24 jam, karena ke hulu. Dari Sanggau ke Balai Karangan, sekitar 48 jam atau dua hari. Biasanya bermalam di Kembayan. Masalah transportasi merupakan hambatan bagi tentara, sehingga tidak bisa bergerak cepat. Selain itu, ada sarana komunikasi radio. Setiap kompi ada radio. Sebagai komandan, dia punya prinsip dasar. Seorang Komandan Batalyon dikatakan komandan, kalau dia punya pasukan cadangan. Misalnya, dalam suatu pertempuran, tiga kompi tidak boleh ditaruh di depan semua. Harus ada satu kompi cadangan di belakang yang langsung dipimpinnya. Bagaimanapun, ada sesuatu yang harus dijaga. Kondisi medan di sekitar Sambas, Bengkayang hingga Sanggau, berbukit dan hutan lebat. Daerah ini dikuasai oleh PGRS. Kondsi medan di sekitar Lanjak, Benua Martinus hingga Putussibau, hutan lebat dan penuh rawa. Daerah ini dikuasai oleh PARAKU. Dalam doktrin yang dijalankan, Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Hamkamrata), tentara tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Di mana operasi dilakukan, tentara harus merangkul rakyat. Apalagi, tentara kebanyakan didatangkan dari Jawa. Karena itu, mereka minta bantuan pada masyarakat lokal, daerah mana yang bisa digunakan untuk jalur jalan. Kebetulan wilayah operasi yang dijalankan, sebagian besar terdiri dari orang Dayak. Mereka tahu bahasa Indonesia. Kalaupun tidak mengerti, mereka pakai bahasa isyarat. Zaenal merasakan kondisi operasi sangat sulit. Apalagi dengan kondisi medan dan peralatan yang terbilang sederhana. Semua itu menjadi kendala tersendiri. Bila daerah itu tak bisa ditembus melalui radio komunikasi, mereka menggunakan surat. Perjalanan tidak bisa diukur dengan ukuran waktu. Isi surat biasanya suatu informasi kepada kompi terdekat, untuk melaksanakan operasi ke tempat tertentu. Penduduk dijadikan kurir. Supaya surat sampai dengan cepat, ada tanda tertenti di amplop. Misalnya, ditempelkan daun atap atau daun nipah. Daun nipah biasa digunakan untuk membuat atap rumah. Maksudnya, biar hujan sekali pun, si kurir harus jalan terus. Juga ditempelkan korek api. Api adalah simbol penerangan. Artinya, biar malam, jalan terus. “Kalau kita menggunakan kurir rakyat biasa, harus ada dua tanda itu diamplop suratnya. Dua tanda itu, berarti kilat khusus,” kata Zaenal. Misalnya dari Balai Karangan ke Sekajang. Jarak itu butuh waktu satu hari satu malam. Pengiriman surat secara estafet. Masing-masing oleh dua orang. Pengiriman surat dilakukan karena ada informasi akurat yang harus disampaikan. Surat menggunakan bahasa khusus dan kata sandi, sehingga tidak mudah dibaca orang. Tulisannya sulit dibaca dan dicerna orang lain. Juga pakai nama samaran. Zaenal punya nama samaran, Harum. Ada kesepakatan dengan para kepala komandan Kompi. Untuk mengangkut perbekalan, biasanya mengupah penduduk setempat. Caranya dengan memberi makan. Kalau tidak bisa melalui air, perbekalan akan dijatuhkan melalui udara. Namun, pengiriman lewat udara, kadang merusak barang yang dikirim. Bila ada barang rusak, dia melaporkan ke markas Kodam XII Tanjungpura. Kodam segera mengganti perbekalan itu. Perbekalan biasanya untuk satu bulan. Dalam sehari, satu prajurit biasanya menghabiskan beras 500 gram. Dalam batalyon ada 500 orang. Tinggal mengalikan saja. Saat itu perbekalan minim. Peralatan seperti sepatu, kadang tidak pakai alas kaki. Bisa juga cuma pakai sendal jepit. Pergerakan pasukan terkadang harus melewati jalan berlupur setinggi lutut. Sulitnya medan membuat sepatu yang dipakai tertinggal di lumpur. Persenjataan masih sederhana. Ada beberapa tipe senjata. Bren otomatis, AK-47. LE, atau Sten. Operasi pasukan tidak menggunakan persenjataan berat, seperti meriam. Kondisi medan tidak memungkinkan. Pasukan pakai senapan praktis dan otomatis, sehingga mudah dibawa. Menurut pengalamannya, tidak ada yang berat-berat sekali. Sebagai komandan, dia di belakang pasukan. Operasi penumpasan berhadapan dengan pasukan kecil. Karenanya, menggunakan pasukan kecil. Yang berat adalah jalan menuju ke tempat operasi. Hutan lebat, bukit dan rawa. Operasi paling berat di Bungpatung dan Benua Martinus. Bungpatung hutannya lebat. Jalan juga sulit ditembus. Benua Martinus hutan lebat dan berawa. Ancaman lain adalah malaria. Dia pernah terkena malaria tropika. Pada jam tertentu, kepala rasanya berdenyut keras sekali. Dia pernah membentur-benturkan kepala dengan keras ke tembok, sangking tak kuat menahan rasa denyutnya. Sebagai Komandan Batalyon, Zaenal melakukan berbagai operasi penumpasan hingga ke Bengkayang. Suatu ketika, pasukannya bergerak dari Balai Karangan ke Bungpatung. Di Bungpatung bergabung dua batalyon. Batalyon 642 Sintang dan Batalyon 641 Singkawang. Dua batalyon itu dibawah komando Zaenal. Dalam operasi di Gunung Brambang, dua batalyon ini berhasil menembak mati salah satu pemimpin PGRS-PARAKU bernama Yap Chung Ho. Yang merupakan salah satu pimpinan gerilyawan. Sempat terjadi kontak senjata sebelum ditembak. Pertempuran terjadi pada siang hari. Selesai pertempuran, ada laporan dari anak buah, Yap Chung Ho tertembak. Zaenal segera memberi perintah, untuk membuktikannya. Dari lokasi pertempuran ke tempat Zaenal cukup jauh. Perjalanan sekitar enam jam jalan kaki. Jenasah Yap Chung Ho dibawa ke markasnya. Jenasah sampai pada pukul 19.00 wib. Bersama jenasah Yap Chung Ho, dibawa juga berbagai dokumen dan barang. Setelah itu, Zaenal minta pada anak buahnya, memasang kaca mata dan pakaian pada sang mayat. Setelah yakin dan sesuai dengan yang ada di foto, Zaenal segera melapor ke Kodam XII Tanjungpura. Selepas itu, Kodam menyiarkannya melalui radio. Setelah berhasil menangkap Yap Chung Ho, Zaenal diijinkan turun ke Pontianak. Pasukannya diganti dengan pasukan dari batalyon lain. Pergantian pasukan biasanya setiap setahun sekali. Semua pasukan lama akan diganti dengan pasukan yang baru. Operasi Teritorial Selain operasi tempur, ada operasi teritorial. Operasi teritorial adalah, operasi penaklukan tanpa peperangan. “Ini lebih kepada perang psikologi. Yaitu, bagaimana membuat suatu pendekatan pada masyarakat,” kata Zaenal. Operasi teritorial bertujuan, supaya masyarakat percaya dan membela operasi yang dilakukan tentara. Caranya bermacam-macam. Dengan memberikan penerangan kepada masyarakat, dan berusaha melakukan pendekatan yang efektif. Jadi, pasukan tempur, selain bisa bertempur, harus bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat. Misalnya, PGRS-PARAKU itu apa, datangnya dari mana, tujuannya apa, dan lainnya. PGRS-PARAKU bukan warga negara RI. “Hal itu bertujuan untuk menimbulkan rasa perlawanan pada diri warga kepada PGRS-PARAKU,” kata Zaenal. Kemudian, tentara juga mesti menjelaskan posisi tentara. Selain itu, mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan operasi. Masyarakat bertugas sebagai penunjuk jalan, kurir, ikut dalam pertempuran, dan lainnya. Operasi teritorial bertujuan memisahkan massa dengan PGRS-PARAKU. Sehingga massa yang telah berpihak pada tentara, bisa digunakan untuk menghantam lawan. Itulah yang dinamakan, gerilya harus dilawan dengan antigerilya. Tidak bisa gerilya dilawan dengan perang konvensional. Operasi teritorial juga dilakukan dengan memberikan berbagai kebutuhan penduduk. Tentara membuat pasar bulanan untuk penduduk. Sebulan sekali memberikan kesempatan pada pengusaha, untuk menggelar daganganya. Lokasinya berada di sepanjang perbatasan. Seperti di Nanga Merakai, dan lainnya. Barang dagangan antara lain, beras, kopi, gula, tembakau, dan lainnya. Zaenal Arifin malang melintang di berbagai pertempuran dan pengejaran terhadap anggota PGRS-PARAKU di Sintang, Sanggau dan Bengkayang. Selama menjadi komandan tempur dan melakukan operasi teritorial, ia bisa menemukan kata mutiara, bagaimana menarik simpati warga kepada tentara, supaya bisa dimanfaatkan melawan PGRS-PARAKU. Ada lima P. Pertama, pendekatan. Melakukan pendekatan pada masyarakat dan tidak boleh menjauhinya. Kedua, pengenalan. Setelah dekat, baru ada pengenalan. Mengenalkan diri, negara, dan rakyat. Tujuannya, supaya bisa menghantam lawan. Setelah pengenalan, tentu ada suatu kesamaan. Ketiga, penyatuan. Integrasi antara tentara dan masyarakat dengan adanya penyatuan. Keempat, pembinaan. Tindaklanjutnya, diadakan pembinaan terus menerus kepada masyarakat, dan jangan sampai terputus di jalan. Kelima, pemantapan. Sikap yang sama antara tentara dan masyarakat, untuk menghancurkan lawan. “Lima hal dalam pelaksanaan operasi teritorial tersebut, tenyata sangat mujarab dalam melaksanakan operasi tempur,” kata Zaenal. Martin Blumenson dan James L. Stokesbury, dalam Master of The Art of Command, memberi satu contoh bagus penaklukan tanpa peperangan di Maroko. Yang ketika itu dikuasai Perancis. Jenderal George S Patton, Jr, merupakan jenderal dalam berbagai peperangan besar semasa perang Dunia II. Pada November 1942 – Maret 1943, dia melakukan tugas berbeda. Tidak melalui pertempuran, tapi dengan cara politis dan diplomatis. Dia mengandalkan kegemilangan dan pertunjukkan seremonial, serta manfaat peristiwa kemasyarakatan. Tidak ada tempat lain, dimana ia mempertunjukkan dengan lebih baik keberadaan dan daya tarik sosialnya, serta kegemilangan pribadinya, untuk kepentingan diplomasi, selain di Maroko. Patton merasa, bukanlah tugasnya untuk menaruh perhatian pada masalah-masalah politik, sosial, rasial, dan keagamaan di Maroko. Ia memandang tugasnya sebagai kewajiban untuk menjaga ketertiban dan stabilitas di negeri itu, sehingga kekuatan militernya tidak perlu terlibat pada apa yang dipandangnya sebagai suatu missi perubahan. Kekuatan bersenjata Amerika di Maroko, bukan untuk mengubah bentuk negara, memperbaiki keadaan sosial, atau mengganti hukum yang mengekang. Tetapi untuk siap dan berperang melawan musuh. Dalam pandangan Zaenal, selain menggunakan cara lima P, untuk memisahkan masyarakat dengan PGRS-PARAKU pada perang antigerilya, juga menyingkirkan para suplier pemasok kebutuhan gerilyawan. Bagaimana cara memisahkannya? Kenyataannya, anggota PGRS-PARAKU hidupnya tidak bisa dipisahkan dengan para suplier di perbatasan. Cara untuk memutus suplai ini, orang Cina yang ada di perbatasan harus dipindahkan. “Kenyataannya mereka ini memang membantu. Tanpa bantuan, tak mungkin bisa bertahan lama para PGRS-PARAKU ini,” kata Zaenal. Kondisi masyarakat Cina di perbatasan ketika terjadi operasi penumpasan PGRS-PARAKU memang serba sulit. Ibarat buah simalakama. Dimakan ayah mati. Tidak dimakan, ibu yang mati. Ketika para gerilyawan datang minta makan dan berbagai kebutuhan pangan, mau tak mau mereka harus memberikannya. Kalau tidak memberikan, nyawa mereka terancam. Nah, kalau memberikan makanan, dianggap membantu pergerakan mereka. Sehingga dimusuhi tentara. Hal ini pernah terjadi pada XF Asali. Saat itu, dia menjabat sebagai kuasa direktur CV Sinar Kapuas di Pontianak. CV ini bergerak di ekspor dan impor beras, gula dan kopra. Sekarang ini, nama CV tersebut berubah menjadi Bumi Raya. Sebagai pedagang, dia tentu tidak bisa melarang pembeli. Atau, bertanya pada pembeli, bakal dibawa ke mana beras atau gula tersebut. Kalau dibawa ke perbatasan, tidak diperbolehkan. Hal itu, tentu saja tidak bisa dilakukan. Asali pernah didatangi tentara dan diinterogasi. “Kau ini pendukung komunis, ya?” “Tidak ada, Pak.” “Tidak ada. You punya karung beras sampai di perbatasan.” Kondisinya serba salah. Ketika beras dan gula sampai di perbatasan, bukan berarti dia menjadi pendukung para gerilyawan. Toh, pembeli berhak membawa ke mana pun, barang yang mereka beli. Lalu, bagaimana cara memutuskan logistik dan memindahkan masyarakat Cina dari daerah perbatasan? “Caranya menciptakan supaya orang Dayak melawan Cina. Ini ada suatu cara dan tidak bisa saya sebutkan, karena saya tidak tahu. Ini dari Kodam,” kata Zaenal. Menurutnya, orang Cina dan Dayak yang hidup di perbatasan, punya kesamaan cara hidup dengan orang PGRS-PARAKU. Mereka sudah lama saling berinteraksi. Dari segi makanan dan berbagai kebiasaan, ada kesamaan. Masalahnya adalah, bagaimana memisahkan orang Cina dan Dayak. Karena ada semboyan, siapa yang bisa menguasai massa, mereka akan menang. Karena itulah, diadakan suatu usaha, memisahkan antara orang Cina dan Dayak. Dibuatlah suatu cara menciptakan sifat permusuhan. Dengan bahasa sederhananya, bagaimana supaya orang membenci Cina. “Caranya tidak tahu, karena ini operasi intelejen. Dan bukan bidang saya menjelaskannya,” kata Zaenal. Operasi intelejen berbeda dengan operasi tempur. Tanpa pertempuran, tapi bisa menciptakan pergolakan. Semuanya tidak langsung. Operasi intelejen dilakukan dengan cara menghembuskan permasalahan, sehingga masyarakat menangkap isu itu. Dengan munculnya isu, timbul rasa tidak aman. Sehingga orang merasa tidak aman dan meninggalkan tempat tinggalnya. Akibat tidak aman, ada pihak memanfaatkan kondisi. Misalnya, kampung yang sudah ditinggalkan, barangnya dijarah dan diambil. Atau, orangnya belum pergi, tapi barangnya dijarah dan dirampok. Akhirnya, berita itu merembet ke berbagai tempat. Orang yang mendengar langsung ikut mengungsi. Saat itu yang memimpin operasi intelejen adalah Mayor Romli. Sekarang sudah meninggal. Jabatan terakhir sebagai Wakil Asisten Intel (Waasintel) Kodam XII Tanjungpura. Pangkat terakhir Letnan Kolonel. Derita Warga Perbatasan Di mana pun daerah yang dijadikan basis operasi militer, penduduk selalu mengalami kesusahan. Mau tak mau, mereka harus membantu operasi yang tentara jalankan. Bila tidak, mereka bakal susah sendiri. Atau, malah dianggap mendukung musuh tentara atau negara. Begitu juga warga di pedalaman Kalbar, ketika daerah mereka dijadikan daerah operasi tentara. Selain direkrut untuk menggempur PGRS-PARAKU, penduduk lokal juga ditugasi mengangkut beras, dan perbekalan. Istilahnya sebagai patok atau ngambin. Mereka juga dijadikan kurir. Imbalannya cuma makan saja. Seorang penduduk dari Dusun Sebol, Desa Tiga Berkat, Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang, menuturkan pengalamannya semasa ikut tentara. Namanya Durani, 79 tahun. Durani ikut tentara karena ditunjuk oleh kepada desa. Selama ikut tentara, dia tidak digaji. Hanya dapat makan saja. Padahal, dia sudah punya empat anak. Durani ikut tentara selama satu tahun. Dia bertugas sebagai penunjuk jalan, bawa barang dan memanggul senjata. Setiap desa diwajibkan mengirim warganya. Bahkan, setiap rumah harus ada satu orang menjadi wakil, untuk membantu tugas tentara. Kalau orang tua di rumah tak bisa berangkat, anaknya mewakili. Tiap kepala kampung wajib mengirim warganya. Mereka bertugas sebagai pemandu dan penunjuk jalan. Juga wajib menjadi pembawa barang. Sekali bawa sekitar 30 kilogram. Tak hanya itu, mereka juga harus ikut menumpas PGRS-PARAKU. Masyarakat membawa tombak dan mandau. Kenapa warga membantu tugas tentara? “Karena PGRS-PARAKU memberontak terhadap pemerintah Indonesia,” kata Durani. Karena dianggap memberontak, masyarakat bergerak dan menumpas pemberontakan PGRS-PARAKU. Masyarakat berpendapat, barang yang diseludupkan ke hutan, untuk dibawa ke Tionghoa dan digunakan melawan pemerintah Indonesia. “Itulah yang dilakukan PGRS/PARAKU,” kata Durani. Penduduk di daerah itu serba salah. Orang yang tidak mau ikut PGRS-PARAKU, akan diculik, dibawa ke hutan dan dibunuh. Kalau tidak mau membantu tentara, dianggap anggota PGRS-PARAKU atau kaum komunis. Pertama kali ikut tentara, Durani menjadi penunjuk jalan. Dia dianggap mengetahui dan menguasai seluk beluk hutan di sana. Selain penunjuk jalan, Durani juga membawa barang. Beratnya berkisar 10-20 kilogram. Dalam setiap operasi yang dilakukan, biasanya satu Regu, 11 tentara didampingi 8 penduduk lokal. Bila jumlah tentara satu Kompi, 100 tentara, didampingi sekitar 50 orang kampung. Setiap kampung ada posko dan diisi satu Peleton, 26 tentara. Setiap jalan dengan tentara, waktunya bisa seminggu hingga beberapa bulan. Setelah itu, baru pulang ke kampung. Selama di perjalanan, orang kampung biasanya berjalan paling depan. “Karena Tuhan adil, kami selamat,” kata Durani. Sebagai penunjuk jalan, Durani tahu betul, daerah yang pernah dilewati orang atau tidak. Salah satu cirinya, kalau ada jejak babi banyak, berarti tidak dilewati atau tidak ada manusia. Setelah lama ikut tentara, Durani boleh membawa senjata otomatis laras panjang. Seperti, AK 47. Senapan serbu legendaris buatan Rusia ini, memiliki 30 peluru tiap magazine. Namun, dia lebih senang membawa senapan lantak. “Lebih ringan,” katanya. Senapan lantak sekali isi, sekali tembak. Bubuk mesiu dari cenawa. Yang terdiri dari garam Inggris, belerang dan kayu Lempung yang dibakar. Ramuan itulah yang digunakan sebagai mesiu. Sebagai peluru, digunakan gotri. Akibat sering menggunakan senapan lantak, telinga Durani sudah berkurang kemampuannya. Ia menggunakan alat bantu pendengaran, sekarang. Melihat ada penduduk lokal ikut berperang dengan tentara, biasanya para gerilyawan menghindari konfrontasi dan masuk ke hutan. Malam-malam mereka lari. Dia pernah bertempur langsung dengan pasukan PGRS-PARAKU. Kalau ada anak atau perempuan tidak akan dibunuh. Mereka akan dipungut anak atau diasuh. Selama ikut operasi tentara, berbagai pengalaman pernah dijalani. Banyak tentara yang tewas dalam operasi. Pernah ada tentara dari Kompi D Siliwangi, habis. Hanya ada dua orang yang selamat. Truk pengangkut tentara hangus terbakar. Tak hanya tentara. Juga polisi. Ada satu polisi ditembak di Jelantang. Senjatanya diambil. Banyak juga pasukan kena ranjau gerilyawan. Ranjau berupa lubang tertutup semak dan dedaunan. Di lubang itulah, beberapa bambu runcing dipancang tegak ke atas. Bila ada yang terperosok dalam lubang. Paha akan tertancap bambu runcing tersebut. Akibatnya, pasukan bergerak lambat, karena ada anggota yang harus ditandu. Dan bagian orang kampung bertugas menggotong tentara yang menjadi korban. Durani pernah membawa pasukan terkena ranjau. Berjalan tengah malam hingga pagi dalam kondisi hujan. Pengalaman yang sama, pernah dialami Abin, 76 tahun. Dia pernah ikut tentara selama beberapa bulan. Suatu ketika, ada pasukan terkena lubang ranjau. Bersama seorang penduduk, dia bertugas memikul tentara dengan tandu. Tandu terbuat dari dua kayu. Dia dan rombongan pasukan berjalan dari pukul 6 sore hingga pukul 4 pagi. Dalam kondisi di tengah hutan, hujan dan tidak makan. Tidak boleh bawa senter, karena mudah diketahui musuh. “Zaman itu sakit, lalu,” kata Abin, “namanya juga diperintahkan, terpaksalah.” Begitu juga dengan Nasir, 56 tahun, warga Dusun Mulo. Dia ikut tentara enam bulan. Nasir berjalan ke berbagai daerah di sekitar Bengkayang. Keluar masuk hutan, hingga masuk ke Gunung Brambang dan Nyiut. Menurutnya, banyak gerilyawan di Gunung Sungkung atau biasa disebut Sungkung Compleks. Sulitnya medan menyulitkan operasi penumpasan. Pasukan Batalyon 641, Beruang Hitam, Singkawang, pernah terjebak banjir selama sebulan, tanpa makanan dan perbekalan di Piong San, Bengkayang. Selain itu, kesamaan pemahaman dan teori, karena PGRS-PARAKU pernah dilatih tentara RI, membuat operasi tidak berjalan dengan baik. Banyak jatuh korban di pihak tentara. Selain itu, ada sebagian pasukan dari Kodam VII Diponegoro yang “kecewa”. Pasukan ini paling banyak korban ketika Dwikora, konfrontasi dengan Malaysia. Sebagian besar penghuni Taman Makam Pahlawan di Singkawang, berasal dari pasukan Diponegoro. Hal ini membuat banyak muncul pasukan bayangan. Pasukan Diponegoro ini, dianggap paling sering perang dengan tentara RI sendiri. “Pasukan Diponegoro pernah melawan Batalyon 330 Kujang dan Batalyon 303 Bukit Barisan,” kata Durani. Meski begitu, di Bengkayang inilah, banyak pimpinan PGRS terbunuh. Seperti, Tambi dan A Siong. Ada juga pimpinannya yang gantung diri, dari pada tertangkap tentara. Seperti, Ki Siong, Pan Hin, dan Lo Yan. Kewajiban membantu tentara tak hanya berlaku pada orang tua. Seorang penduduk Desa Lumar, ketika itu berumur 12 tahun, juga mendapat kewajiban membantu tentara. Namanya Gubang. “Saat itu, kalau ada yang menolak, akan langsung dianggap pro Tionghoa,” kata Gubang. Satu bulan sebelum diturunkan, dia diberi berbagai latihan kemiliteran di Sanggau Ledo. Bahkan, setelah sekian lama ikut militer dan dilatih, rencananya juga dikirimkan ke Tim-Tim. Dia sering ketemu orang mati di hutan. Dia pernah membantu tentara dengan membawa mortir. Dengan senjata itu, markas PGRS di Bubuk, Bintang 12, digempur. Selama ikut tentara, dia biasa makan-makanan kaleng. Makanan kaleng tentara Indonesia, biasanya dari malaysia. Setiap jalan ada 12 tentara dan 7-8 orang kampung. Tentara juga melakukan operasi pagar betis. Operasi ini dilakukan hingga 12 tahun. Setelah ikut membantu tentara selama bertahun-tahun, Gubang dipercaya membawa senjata LE atau Sten Gun. Dia pernah terjebak dengan tentara dan dikepung banjir selama satu bulan. Tak ada bantuan makanan. Ia biasa ikut pasukan Bukit Barisan. Ketika ada perekrutan tentara, Gubang tak bisa masuk karena tingginya dianggap kurang. Dia tak pernah mendapatkan gaji atau pensiun. Gubang adalah potret masyarakat perbatasan yang menjadi daerah operasi militer. Mereka harus menyerahkan hidupnya. Membantu tugas dan operasi tentara. “Kita bantu negara secara luar biasa. Sampai tak punya waktu untuk sekolah,” kata Gubang. Dia tak sempat menamatkan pendidikan sekolah dasarnya, karena ke hutan terus. Hidup yang Terampas Dia bernama Lengken. Usia 68 tahun. Orangnya tinggi besar. Rahangnya kuat dan kokoh. Wajahnya terlihat persegi. Alis matanya tebal. Di bawah alis itu, sepasang sorot mata selalu menatap. Tajam dan menghujam. Tatapannya tak mau lepas dari orang di hadapannya. Sorot mata itu, penuh selidik. Hari itu, aku bertemu beberapa warga Dusun Molo. Aku bersikap biasa saja, menghadapi situasi seperti itu. Toh, aku tak bermaksud jahat. Aku ulukkan salam dan berjabat tangan. Tangannya lebar dan besar. Kokoh dan kasar telapaknya. Menandakan si empunya pekerja keras dan mengandalkan tenaga, dari dua belah tangan itu. Aku jelaskan maksud kedatanganku. Arti penting wawancara dengannya. Arti penting tulisan yang sedang disusun, bagi generasi sekarang dan mendatang. Yang pasti, tulisan itu tidak bermaksud membuka luka lama. Menjelekkan seseorang, golongan, atau suatu institusi. “Tulisan ini hanya sebuah cermin. Supaya generasi mendatang bisa berkaca dari peristiwa yang pernah terjadi,” kataku menjelaskan padanya. Lengken bicara kepada orang di sekitarnya. Pakai bahasa Dayak. Setelah itu, bicara lagi padaku. Lalu, bicara lagi pakai bahasa Dayak. Kemudian, bicara lagi padaku. Situasi itu berlangsung hingga 15 menit lebih. Aku bersikap santai saja. Minta izin padanya, menikmati rokok linting tembakau yang sedari tadi dihisapnya. Setelah menjumput tembakau, selembar kertas tipis pun berpindah tangan. Aku melinting dan membuat rokokku sendiri. Hemmm, nikmat juga. Walaupun rasanya agak keras dan menyedak. Sebagian besar orang di dusun ini, membuat rokok dengan cara melinting sendiri. Kubiarkan ia bercakap dengan orang di samping kiri dan kanannya. Suaranya besar dan berat. Memenuhi seluruh ruangan. Suara itu, seolah saling berebut dengan bunyi hujan, tuk tampil paling jelas dan bisa didengar. Sejurus kemudian, dia menoleh padaku dan mulai bicara. Aku mendengarkan. Mencatatnya di buku. Merekam dengan tape. Dan mulai bertanya. Lengken tetua kampung di Dusun Molo. Sebagai mana penduduk di dusun itu, dia juga kebagian tugas membantu tentara, sebagai pengangkut barang. Dia pernah ikut Batalyon 328 dan 330 dari Kujang. Batalyon 328 Kujang II pernah bertugas mengejar dan menangkap DI/TII, Kartosuwiryo. Ketika bertugas di Bengkayang, pimpinannya bernama Alex. Ada dua Kompi; Kompi A dan C. Satu Kompi berjumlah 100 orang. Kompi A ke Piong San Papan dan Kompi D ke Piong San. Suatu ketika, Lengken dan Kompi C ke Piong San Papan. Di tengah perjalanan, pasukan bertemu dengan orang Cina. Tentara menginterogasi. ”Mau ke mana?” “Ke Bengkayang. Ada urusan.” Setelah digeledah, ditemukan setengah kilogram emas dan uang satu juta. Karena tidak mau mengaku dari mana dan untuk apa, uang dan emas itu, orang Cina itu direndam dalam sungai. Sangking kesalnya, seorang prajurit dari Kompi C berkata padanya. “Sudahlah begini saja. Kalau kamu tidak mau mengaku, jari tanganmu akan kami potong satu persatu dengan pisau,” kata sang serdadu. Lalu, salah satu jarinya diletakkan di papan kayu. Pisau sudah ditempelkan di atas tangannya. Serdadu mulai menghitung. “Ini sebagai penutup. Satu-dua-tiga...” Ketika mata pisau akan memotong salah satu jari, orang itu bergegas menarik tangannya. Ia menyerah. Lalu, memberitahu keberadaan dan kekuatan pasukan PGRS. Pasukan PGRS ada 300 orang. Mereka bersembunyi di antara Bubu dan Piong San. Pimpinannya bernama Lo Chong. Dia bersenjata pistol. Wakilnya Heru. Senjatanya Thomson. Penjagaan markas PGRS ada tiga tempat. Penjaga pertama ada di atas pohon. Jumlahnya dua orang. Penjaga kedua ada di tempat dijaga. Masing-masing dua orang. Setelah mendengar informasi itu, pasukan siap dalam setengah jam. Pukul 17.30 wib, pasukan berangkat. Sampai di persembunyian PGRS pukul 21.00 wib. Setelah itu langsung terdengar tembakan. Pasukan PGRS kocar-kacir. Mereka lari menuju Gunung Brambang. Di gunung inilah, banyak kekuatan PGRS berkumpul. Bahkan, ada salah satu panglimanya, Yap Cung Ho. Untuk melumpuhkan pasukan PGRS, tentara menggunakan penyemprot api. Seluruh area disiram dengan api. Sebelum melakukan, masyarakat diminta pindah terlebih dahulu. Selain mengajak orang Dayak setempat membantu operasi penumpasan, tentara juga mengajak para sukarelawan dari berbagai macam suku dan etnis di Kalbar. Salah satunya, Bustaman, 73 tahun. Dia kelahiran Roban, Singkawang. Dia ikut operasi yang dilakukan tentara Kujang. Setiap melakukan operasi, jumlahnya 11 orang atau satu regu. Operasi dilakukan di Matangkuring, Bengkayang. Bersama kelompoknya, dia berangkat dari markas tentara di Samalantan, perbatasan antara Singkawang dan Bengkayang. Dari markas, biasanya jalan kaki dari pinggir jalan raya. Setelah itu, masuk ke hutan dan mencari para gerilyawan. Bustaman menyandang senjata Thomson. Dia pernah jadi tentara Heiho, zaman Jepang. Seperti juga yang lain, Bustaman membantu operasi tentara dan tidak mendapat gaji. Hanya dapat makan saja. Tentara melakukan operasi pagar betis. Masyarakat diminta membantu. Kondisi saat itu, seolah-olah PGRS-PARAKU terlibat PKI. Setiap operasi langsung balik ke asrama, hari itu juga. Dia ikut operasi tentara setahun lamanya. Bustaman mengenakan seragam tentara dan makan ransum dari makanan kaleng. Dalam melakukan pengejaran terhadap para anggota PGRS-PARAKU, berbagai macam pengalaman pernah dialami. Mulai dari konflik bersenjata, hingga menemukan anak di tengah hutan. Setiap melakukan pengejaran, warga sipil seperti dirinya, selalu berada di barisan paling depan. Tentara berada di belakang. Anggota PGRS punya pos di atas pohon. Pos berfungsi mengintai pasukan atau kedatangan tentara. Tingginya sekitar tiga sambung. Maksudnya, batang kayu yang disambung. Satu sambung sekitar enam meter. Dalam suatu operasi, dia bersama regunya ketemu pos PGRS-PARAKU di hutan. Pos itu lebarnya sekitar empat kali sepuluh meter. Atapnya dari daun. Sempat terjadi baku tembak. Di pos itu ada sekitar 20 orang. Anggota PGRS-PARAKU banyak menjadi korban. Selama menyusuri hutan, dia kerap menemukan mayat berserakan di hutan. Jumlahnya banyak sekali. Kalau mereka mau makan, mengalami kesulitan, karena di mana-mana ada lalat. Mayat anggota PGRS-PARAKU dibiarkan saja. Tapi, kalau mayat tentara, akan dibawa pulang dan digotong dengan tandu. Banyak dari mayat, kondisinya rusak dimakan babi hutan. Tulang belulang berserakan di berbagai tempat. Bustaman pernah membawa tulang dengkul orang yang telah mengering. Tulang itu dibawa pulang, dan diletakkan di pinggir rumahnya. Suatu hari menjelang maghrib, pasukannya menemukan dua anak. Lelaki dan perempuan. Usianya, delapan dan tujuh tahun. Keduanya keluar dari lubang kayu. Seluruh badan anak tergores duri tanaman hutan. Keduanya dibekali kerak nasi oleh orang tuanya. Ketika ditemukan, ada anggota pasukan yang berniat menembaknya. Tapi, Bustaman melarang. Dia membawanya ke rumah. Ketika hendak pulang, pasukan ketemu anggota gerombolan PGRS. Bustaman langsung melepas anak itu dari gendongannya. Dia dan pasukannya mengejar anggota PGRS. Yang dikejar tak dapat ditangkap. Anggota PGRS itu berlari dengan cara merunduk seperti babi. Cepat dan gesit. Setelah itu, langsung masuk ke semak-semak hutan. Setelah tak dapat menangkap anggota gerombolan, Bustaman mencari anak itu lagi. Sang anak ditemukan. Dia langsung membawanya ke rumah. Padahal, Bustaman sudah punya delapan anak. Ripin, temannya membawa anak lelaki. Bustaman kebagian anak yang perempuan. Dua anak itu tak bisa bicara Indonesia. Dia juga tidak tahu namanya siapa. Akhirnya, Bustaman memberi nama Minah, padanya. Kini, anak asuhnya tinggal di Pontianak. Bustaman mendapat penghargaan dari pasukan Kujang. Ia ditawari menjadi tentara. Namun, ia tak mengurusnya, sehingga tak bisa menjadi tentara. Uang pensiun pun tak dapat. Itulah kisah, para penduduk di perbatasan. Tulang dan daging mereka telah melepuh. Layu dan tak lagi bertenaga. Habis energi pada masa muda. Membantu tugas para tentara. Dunia yang Hilang Dusun Molo termasuk Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang. Dusun ini dihuni puluhan keluarga dari sub suku Dayak Bekatik. Dulunya, ada rumah panjang di sini. Namanya rumah Betang Molo. Sekarang sudah tak ada lagi. Orang lebih suka membangun rumah petak, untuk keluarganya sendiri. Penduduk Dusun Molo sebagian besar hidup dari bercocok tanam. Mereka menanam padi dengan sistem perladangan. Tak ada sistem pengairan. Menanam pada biasanya dimulai sekitar awal September. Pada Agustus, lahan dibabat dan dibakar. Ada cara khusus, sehingga api tidak bisa merambat ke daerah lain. Ada kearifan lokal dalam proses ini. Tak sembarang membakar. Abu hasil pembakaran dipercaya bisa membantu menyuburkan tanah. Selama puluhan, mungkin malah ratusan tahun, teknologi dan sistem pertanian tak bisa mengubah pola bertanam yang selalu menggunakan pola bakar. Luas lahan warga tak lebih dari satu hektar, tiap kepala keluarga. Dalam jangka enam bulan, padi bisa dipanen. Hasil padi digunakan untuk persediaan makan sendiri. Namun, belum enam bulan, padi telah habis. Akhirnya, mereka harus membeli padi dari pasar yang harganya lumayan tinggi. Dusun Molo bisa ditempuh melalui jalan darat. Cukup lumayan medannya. Kalau mau pakai mobil, harus double gardan atau berpenggerak empat roda. Namun, kita juga bisa menggunakan ojek sepeda motor dari dusun terdekat, Dusun Lumar. Tarifnya, Rp 100 ribu untuk jarak 18 km. Berangkat dan balik. Lumayan juga. Buruknya infrastruktur membuat masyarakat harus mengeluarkan uang cukup besar, untuk transportasi. Selama 62 tahun kemerdekaan, pemerintah tak bangun jalan di sini. Pembangunan jalan penghubung dilakukan perusahaan sawit. Padahal pada zaman Jepang, jalan itu telah mulai dibangun dengan batu dan kerikil. Tujuannya, mobilisasi pasukan dan mengangkut perbekalan. Setelah kemerdekaan, jalan tak dirawat dan “hilang” dengan sendirinya. Menjadi kubangan lumpur atau ditumbuhi ilalang. Dusun Molo, lokasi terdekat dengan Sepang. Jaraknya sekitar 8 km. Pada 1960-an, Sepang daerah paling ramai kedua, setelah Piong San. Dua nama itu, pusat pemukiman masyarakat Tionghoa di Bengkayang. Sepang adalah pohon kayu yang warnanya merah. Piong San berarti gergaji hutan. Piong artinya kayu atau papan. San berarti gunung atau hutan. Untuk menuju Sepang, aku sengaja jalan kaki, meskipun ada jalan sawit yang bisa dilewati motor atau mobil. Ingin merasakan udara segar dan pemandangan indah di sana. Selain itu, ingin merasakan suasana dan menyerap energi alam selama perjalanan. Dua warga Dusun Molo menemani perjalanan. Namanya Irah, 66 tahun dan Idah 58, tahun. Keduanya lelaki dan kakak beradik. Irah dan Idah sosok khas masyarakat pedalaman. Senyumnya selalu mengembang. Tutur katanya polos dan tak bertendensi. Dua orang ini posturnya tak terlalu tinggi. Sekitar 160 cm. Deretan ototnya terlihat kenyal. Menandakan otot itu selalu terlatih dan bergerak. Kulitnya coklat tua. Terik matahari melengaskan warna kulit itu. Kami berjalan beriringan sambil berbincang. Mendengar cerita dua kakak beradik, tentang pengalaman masa lalu. Keduanya pernah menjadi tukang bawa perbekalan tentara. Tahun 1960-an, penduduk masih tinggal di rumah Betang. Rumah itu memiliki 30 pintu. Ada 30 KK di sana. Dusun Molo jalur paling sering dilewati, bila orang ingin ke Sepang atau Piong San. Para gerilyawan PGRS-PARAKU, juga berjalan melewatinya. Idah pernah menyaksikan kehadiran tentara PGRS di kampung mereka. Para gerilyawan berjumlah tujuh orang. Mereka bersenjata LA. Komadannya pakai pistol. Gerilyawan sedang menuju Piong San dari Sanggau Ledo. Penduduk minta mereka menginap di rumah Betang. Namun, mereka menolak. Di Piong San ada sekitar 30 KK. Kepala kampungnya bernama Jong Ci Lin. Menurut Thong Fuk Long atau Tomidi, di Piong San dan Sepang, sudah ada delapan generasi masyarakat Tionghoa di sana. Tomidi sesepuh masyarakat Tionghoa di Singkawang. Dia pernah jadi guru di Sanggau Ledo, pada tahun 1960-an. Selain di Sepang dan Piong San, daerah lain yang banyak orang Tionghoa adalah Jawai dan Tebas. Mereka menanam karet, sahang dan padi. Karena itulah, dua daerah ini disebut Little Siam atau Siam Kecil. Selama ikut tentara, Idah mengalami berbagai pengalaman. Menurutnya, tentara kalau memerintah galak. Apalagi kalau sudah dipanggil ke pos. Masyarakat tidak bisa mengelak perintah. Apalagi melawan. Di pos, warga yang tidak menuruti perintah dan membangkang, bisa dipukul. Idah pernah dipukul dan direndam di sungai. Dia sering dipindah ke berbagai pasukan, karena dianggap melawan dan kelahi dengan tentara. Apa alasan Idah membangkang dan melawan? “Karena tentara kejam dengan rakyat,” kata Idah. Kalau tentara lewat kampung, pasukan minta ayam, beras, atau kebutuhan lainnya pada penduduk kampung. Padahal, pasukan membawa beras dan berbagai perbekalan. Warga biasa dalam rombongan tentara, jadi tak enak hati dengan orang kampung yang dilewati. Kalau ada tentara mati dalam pertempuran, jasadnya tidak boleh ditinggal di hutan. Mayat tentara dibawa ke lapangan yang bisa didarati helikopter. Setelah itu, dibawa dengan helikopter ke Bengkayang atau Singkawang. Tapi, kalau ada orang kampung mati dalam peperangan, terkadang ditinggal begitu saja. “Ini membuat masyarakat kampung marah. Akibatnya menimbulkan gesekan dengan tentara, selama menjalankan tugas sebagai pengangkut barang dan penunjuk jalan,” kata Idah. Setelah berjalan selama satu jam mengikuti jalan sawit, kami sampai pada sisi sebuah hutan. Di pinggir hutan ini, banyak pohon durian. Tingginya mencapai puluhan meter. Nama durian disesuaikan dengan nama pemilik tanah. Misalnya, durian A Siong. Berarti, durian itu ada di tanah A Siong. Selain durian, agak ke dalam hutan, banyak tanaman karet dan sahang atau lada. Tanaman itu dibudidayakan. Era tahun 1960-an, sahang dan karet merupakan komoditas andalan di Kalbar. Pusat dari sahang dan karet ada di Bengkayang. Tanahnya subur dan cocok untuk dua tanaman itu. Di balik gerumbulan dan lebatnya pohon besar, Irah dan Idah memperlihatkan sebuah bekas pasar. Di pasar inilah, dulunya orang Dayak dan Tionghoa bertemu. Penduduk Sepang menjual berbagai kebutuhan pokok. Penduduk Dusun Molo kalau belanja kebutuhan pokok, harus ke Sepang. Warga Molo biasanya membawa ayam, karet, hasil kebun, pasir mengandung emas, dan lainnya. Barang itu ditukar dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Seperti, beras, garam, pakaian dan lainnya. Di antara bekas jalan setapak itu, kami menemukan pecahan keramik dari porselen. Jumlahnya lumayan banyak dan tersebar. Tak jauh dari bekas pasar, ada batu setinggi setengah meter. Lebarnya setengah meter. Batu berfungsi untuk meletakkan setanggi dalam ritual masyarakat Tionghoa. Inilah bekas rumah ibadah, Toa Pekong. Kini, pasar, pohon durian, karet, sahang dan rumah ibadah itu, tak lagi terawat. Waktu menggerus jejak itu. Seiring terjadinya peristiwa kemanusiaan yang terjadi. Pengusiran dan pengungsian besar-besaran orang Tionghoa. Tak jauh dari tempat itu, sebuah sungai mengalir. Airnya jernih dan bening. Di sepanjang sungai, gerumbul batang bambu tumbuh subur. Batangnya saling mengkait. Membentuk ukiran alam. Indah. Namun, terlihat misterius dan “bernyawa”. Idah berkata padaku, “Ini airnya langsung bisa diminum.” Sambil berkata, dia sudah menyerok air dengan dua belah telapak tangannya. Menyerutup air, lalu membasuh wajahnya. Aku mengikuti. Benar juga. Segar rasanya. Tapi, terbayang juga dalam benakku. Barangkali, di air ini pula, 41 tahun lalu, darah mereka yang tak bersalah atau dianggap anggota PGRS, telah bercampur dan menggenangi sungai ini. Aku memperhatikan air sungai yang terus mengalir. Suara riak air sungai, menghadirkan simponi tersendiri. Apalagi di tengah sunyi dan senyap hutan. Air sungai terus mengalir. Memberi hidup. Menyuburkan alam yang dilewati. Sungai telah menjadi saksi sejarah. Entah peristiwa apalagi yang bakal disaksikannya. Yang pasti, satu situs sejarah peradaban yang biasa berdiri di sepanjang sungai, telah hilang. Dia menyusul sejarah peradaban kuno yang biasa tumbuh di sekitar sungai. Seperti, peradaban Mesir Kuno, Eufrat, Tigris atau Babilonia. Begitulah hidup, sejarah atau peradaban. Terus berputar, tumbuh, tumpas dan hilang dari permukaan bumi. Hari itu, kami melanjutkan perjalanan lagi. Menembus lebat dan gelap hutan. Rintik hujan menyapu. Membasahi sekujur hutan. Mengiringi perjalanan dan melicinkan jalan. Selang satu jam, kami sampai pada sebuah rumah. Berbincang dan mendengarkan sebuah kisah. Selepas itu, kami kembali ke Dusun Molo. Ketika pulang, kami ketemu dan jalan bareng dengan beberapa orang. Mereka para penambang emas di Piong San. Sejak dulu, daerah itu merupakan areal pertambangan emas. Perjalanan semakin meriah. Namun, jalanan yang kami lalui gelap dan pekat. Sepekat sejarah bangsa ini. “Mengeringkan Kolam” Dalam melakukan operasi militer, ada pentahapan operasi dilakukan untuk menumpas sisa-sisa pasukan PGRS-PARAKU. Tentara melakukan Operasi Tertib I, Oktober - Desember 1966 dan Operasi Tertib II, Januari - Maret 1967. Kedua operasi itu, merupakan operasi pendekatan dan penjinakan. Karenanya, tidak terjadi pertempuran antara TNI dan PGRS-PARAKU. Mantan gerilyawan diminta untuk menyerahkan diri dan meletakkan senjata. Karena tidak mau menyerah, tentara melakukan Operasi Sapu Bersih I, April 1967 – Juni 1967. Operasi dipimpin Brigjen Ryacudu sebagai Panglima Kodam XII Tanjungpura. Menurut sejarah resmi tentara, Sendam, Tanjungpura Berjuang, kontak senjata mulai terjadi. Dalam Operasi Sapu Bersih I, pasukan TNI yang gugur 29 orang. Tentara mengakui kelemahan pasukannya disebabkan faktor-faktor kelemahan lain dari pasukan. Misalnya, kekuatan sangat kurang dibanding dengan luas daerah. Jon 541 dan 642 terdiri dari anggota-anggota yang masih remaja, belum mendapatkan pengalaman tempur dan belum mendapatkan Unit training maupun battle training yang intensif. Pimpinan pasukan pun terdiri dari pimpinan-pimpinan muda yang sebagian besar belum berpengalaman tempur. Beberapa kali kegagalan membuat pemerintah pusat, melakukan pergantian pucuk pimpinan militer di Kalbar. Pada 29 Juli 1967, Pangdam XII Tanjungpura, Brigjen Ryacudu diganti Brigjen AJ Witono. Menurut Jamie Davidson, pengantian ini dengan alasan, Witono perwira Siliwangi beragama Katolik yang anti komunis. Dia punya pengalaman menangani beberapa pemberontakan. Seperti, Darul Islam di Jawa Barat, 1950. Mengatasi kerusuhan anti Tinghoa, 1963, saat menjabat Komandan Korem di Cirebon. Witono pernah menjadi Kepala Staf Kodan Jaya Jakarta, 1965. Asisten Deputy bagi logistik selama operasi penumpasan PKI di Jawa, 1966-1967. Witono dipilih, karena punya pengalaman dalam beberapa operasi anti gerilya. Pergantian atas persetujuan Presiden RI, Jenderal Suharto. Setelah memegang Panglima Kodam XII Tanjungpura, Brigjen Witono langsung melakukan Operasi Sapu Bersih II, Agustus 1967 - Februari 1969. Operasi ini dibagi dalam tiga tahap. Operasi Persiapan dan Pengintaian, Agustus - Desember 1967. Operasi Penghancuran, Januari 1968 – Juni 1968. Konsolidasi dan Pembangunan, Juli 1968 – Februari 1969. Pencanangan Operasi Sapu Bersih, tetap saja sulit menghadapi PGRS-PARAKU yang menggunakan taktik gerilya. Tercatat selama Oktober, terjadi 15 kali kontak. Pada Operasi Sapu Bersih III, Maret 1969 – Januari 1970 dipimpin Brigjen Soemadi. Soemadi menjadi Pangdam XII Tanjungpura dari April 1969-Maret 1973. Tentara juga minta dukungan mantan Gubernur Kalbar, Oevang Oeray, supaya orang Dayak membantu tentara. Dia sangat disegani orang Dayak. Segala ucapannya dipercaya. Perintahnya dituruti. “Dalam operasi intelejen, kita memanggil para tokoh Dayak, untuk membantu tentara,” kata Letkol Harsono Subardi, Eks Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura. Pokoknya, tugas saat itu memberantas pemberontakan PGRS-PARAKU. Dalam menyukseskan operasi, harus mengikutsertakan rakyat. Hal itu tak hanya terjadi di Kalbar. Tapi di seluruh wilayah Indonesia. Sesuai dengan Doktrin Hamkamrata. Para tokoh Dayak diberi pangkat kehormatan atau Pangkat Tituler. Pangkatnya setingkat Letnan. Hal itu demi kebanggaan di masyarakatnya. Para Panglima itu antara lain, Panglima Burung di Ketapang. Panglima Tukiman di Sungkung. Panglima Sopa di Bengkayang. Panglima Dagang, dan lainnya. Semuanya ada sekitar 10 orang. Para panglima ini mendapat persenjataan dari tentara. Bahkan, juga mendapat uang pensiun hingga sekarang. Para panglima merekrut, mengarahkan anak buahnya, dan bersama tentara memberantas PGRS-PARAKU. Mereka dikoordinasikan Kodam XII Tanjungpura. Ketika operasi militer selesai, mereka diajak ke Jakarta dan wilayah lain di Indonesia. Tujuannya, melihat hasil pembangunan. Para Panglima direkrut dengan dalih, PGRS-PARAKU akan menguasai Kalbar. Setelah perdamaian dengan Malaysia pascakonfrontasi, pemerintah RI menyebut para gerilyawan, Gerombolan Tjina Komunis (GTK). Komunis anti dengan feodalisme. Padahal di masyarakat Dayak, ada istilah panglima, temenggung dan lainnya. “Kita juga berkata pada para panglima itu, bahwa komunis tidak suka dengan sistem Dayak, karena mereka itukan ideologinya sama rata sama rasa. Dengan cara itulah, masyarakat Dayak membantu tentara,” kata Harsono. Beberapa pemuka suku Dayak, juga telah didatangi Pangdam XII Tanjungpura, Brigjen Soemadi. Mereka mendapat beberapa petunjuk. Pertama, PGRS-PARAKU adalah komunis. Tidak beragama. Karena orang Dayak termasuk Bangsa Indonesia dan beragama, karena itu orang Dayak tidak bisa hidup bersama-sama komunis. Jadi, PGRS-PARAKU harus diganyang. Kedua, PGRS-PARAKU adalah Tionghoa Serawak dan menganggu keamanan wilayah RI. Yang berakibat juga keamanan orang Dayak terganggu dalam mencari kehidupan sehari-hari. Ketiga, PGRS-PARAKU menganggu keamanan, mau tak mau orang Dayak harus juga terseret-seret yang akan menimbulkan korban, waktu dan jiwa. Dari pada korban secara pasif, lebih baik korban secara aktif. Dengan berpegang pada tiga hal yang diberikan kepada mereka, maka orang Dayak semakin terangsang jiwanya. Terutama karena yang menyampaikan adalah yang mereka pandang sebagai orang terkemuka, Pangdam XII Tanjungpura, Brigjen Soemadi. Dalam berita Harian Angkatan Bersenjata, 21 September 1967, menulis, pada 3 September 1967, tentara menyebutkan ada 9 orang Dayak diculik dari Kampung Taum, Kecamatan Sanggau Ledo, Bengkayang. Kemungkinan dilakukan oleh Gerombolan Tjina Komunis (GTK). Dua hari kemudian, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menemukan mayat mereka. Beberapa hari kemudian, juru bicara Kodam XII Tanjungpura mengatakan pada Harian Angkatan Bersenjata bahwa, “Dayak seharusnya menuntut balas, darah dengan darah.” Ketika itu, Mayor Sarwono WHD dan Lettu Piet Damanik, pernah menjadi Dubes RI di Philipina, menghadap Oevang Oeray tentang tewasnya sembilan orang Dayak. Oevang langsung marah dan mengebrak meja. “Darah dibalas dengan darah.” Dalam laporan penelitian yang dilakukan Erma SR, untuk Perkumpulan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PB HAM) di Kalbar, 2003, menulis, bahwa pernyataan tentang meninggalnya sembilan orang Dayak di Kampung Taum, sesungguhnya tidak benar. Kepala Kampung Taum membantah klaim tentara. Sembilan orang yang terbunuh, bukan semuanya Dayak. Mereka terdiri dari orang Dayak, Cina, Melayu dan Bugis. Kesembilan orang ini disuruh tentara, untuk pergi ke Gunung Merbukan dan membujuk pemberontak agar menyerah. “Sebenarnya saya juga disuruh pergi. Tapi saya tidak mau, karena saat itu saya mau ke ladang dengan isteri saya. Saya dan isteri berpapasan dengan mereka (sembilan orang tersebut) dan sempat bertegur sapa. Saya bilang ke isteri saya, ini bahaya. Sebab mereka tidak bawa takin (alat pemikul Dayak) dan bisa dianggap sebagai tentara. Memang benar, tidak lama kemudian kami mendengar suara letusan senjata. Selama itu, kita sering berpapasan dengan PGRS, namun mereka tidak mengacau kami. Syaratnya adalah, kami kalau ke hutan atau ke gunung, harus bawa takin, sebagai bukti kami ke ladang dan tidak bawa senjata.” Penyimpangan berita yang dilakukan oleh tentara pada provokasi pertama ini, tidak berhasil. Perkampungan Dayak yang berada di daerah Kabupaten Bengkayang tidak memberikan reaksi apapun, terhadap peristiwa ini. Provokasi kedua dilakukan tentara dengan menyebutkan, PGRS-PARAKU membunuh orang Dayak yang dikabarkan sebagai Temenggung Garanase di Dusun Teriak Madang, Bengkayang. Cerita yang beredar menyebutkan, tubuhnya dipotong. Di tubuh mayat ditemukan tulisan berhuruf Cina. Menurut laporan ini, berdasarkan wawancara dengan mantan pemimpin demontrasi mengaku, orang tersebut bukan temenggung. “Dia orang kurang waras yang memang sengaja kami korbankan untuk itu,” tulis laporan ini. PB HAM bubar pada 2004. Menurut versi tentara, Tumenggung Garanase terbunuh dalam pertempuran dengan PGRS di Bengkayang. Dan inilah yang membuat masyarakat Dayak marah. Sehingga tidak hanya orang PGRS-PARAKU saja yang dilawan, tapi juga semua orang Tionghoa. “Yang mengangkut dan menolong panglima Dayak yang terbunuh dalam pertempuran dengan PGRS-PARAKU memang tentara,” kata Harsono. Kematian sembilan orang penduduk dan “temenggung”, apakah rekayasa dari militer, supaya orang Dayak bergerak melawan PGRS-PARAKU? “Wah, saya tidak mendukung pendapat itu. Kalau tentara mengadu domba, saya tidak ada instruksi untuk itu. Banyak juga kebijakan panglima tidak diketahui oleh staf. Barangkali, kalau memang itu ada, mungkin permainan tingkat tinggi yang saya tidak tahu,” kata Sarwono WHD, eks Asintel Kodam XII Tanjungpura, “Nampaknya ini memang alamiah. Kalau ini suatu rekayasa, saya pasti tahu.” Dalam perang kemerdekaan RI, terkenal karena bersatunya tentara dengan rakyat. Istilahnya, perlawanan rakyat semesta. Menurut doktrin tersebut, hakikat pertahanan dan keamanan negara adalah perlawanan rakyat semesta. Ada tiga sifat perlawanan rakyat semesta. Pertama, Kerakyatan. Keseluruhan warga negara sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Kedua, Kesemestaan. Seluruh kekuatan bangsa dan negara, harus dapat dimobilisasikan untuk menanggulangi setiap bentuk ancaman internal dan eksternal. Ketiga, Kewilayahan. Seluruh wilayah negara merupakan tumpuan perlawanan, dan segenap lingkungan didayagunakan, untuk mendukung perlawanan secara berlanjut. Perlawanan rakyat semesta ibarat bersatunya ikan dengan air. Untuk mengalahkan perang gerilya yang dilakukan PGRS-PARAKU, prinsipnya harus dipisahkan dengan masyarakat. Itu prinsip. “Cuma, arah pertarungan itu, bagaimana terjadinya, wallahu alam,” kata Sarwono. Pada waktu itu ada yang menjarah. Barangkali itu peristiwa kebetulan dan mendukung terjadinya operasi. Jadi, peristiwa itu menolong suksesnya operasi. Kalau diibaratkan, orang Tionghoa dan Dayak bersatu, menjadi air. Itu bagus untuk PGRS-PARAKU. Yang diibaratkan sebagai ikan. Jadi, prinsipnya harus dipisahkan. Akibat bersatunya anggota PGRS-PARAKU dengan masyarakat, membuat suplai dan perbekalan mereka sulit diputus. Karenanya, masyarakat di daerah itu harus dipindahkan, sehingga PGRS-PARAKU kehilangan penyuplai. “Untuk menangkap ikan, air di kolam harus dikeringkan,” kata Sarwono. Mangkok Merah Selain tentara melakukan provokasi, para pemimpin Dayak menemui J.C. Oevaang Oeray, membicarakan pengusiran orang Tionghoa dari pedalaman Kalbar. Terjadi pertemuan di Pontianak. Hasil pertemuan diikuti dengan pengumuman di radio, supaya orang Dayak melakukan pengusiran. Menurut Jamie Davidson dan Kammen, pengumuman melalui radio dilakukan, bersaman dengan dibentuknya Laskar Pangsuma, untuk mengorganisir demonstrasi. Oevaang menulis surat dan membacakannya sendiri di radio RRI Pontianak, menurut laporan dari PB HAM Kalbar. Pengumuman itu berisi, orang Tionghoa harus meninggalkan wilayahnya dan pindah ke kota kecamatan terdekat. Pengumuman diikuti surat undangan menghadiri pertemuan pada 11 Oktober 1967. Seluruh Kepala Kampung di Kewedanaan Bengkayang, diminta datang ke Samalantan, untuk pertemuan besar. Pertemuan dihadiri Oevaang dan dijaga ketat Tentara dari Pasukan Kujang 328 dan Batalyon 641. Dalam pertemuan, Oevaang memerintahkan kepada seluruh kepala kampung, bersiap-siap menunggu hari yang disebutnya ”Gerakan Demonstrasi”. Setelah pertemuan ini, sumber resmi tentara, Sendam, menyebutkan bahwa proses pengusiran terjadi pada 14 Oktober 1967. Saat itu, massa Dayak di Kampung Taum mulai melakukan serangan terhadap orang Tionghoa. Serangan meluas ke Serimbu, Sei Betung, Sebakuan, Selakau, Samelantan, Mempawah Hulu, Menjalin, Mandor dan Capkala, Sungai Raya, Kampung Toho, Sangking, Sei Pinggan di Kecamatan Toho, Kampung Tumang dan sekitarnya, Kampung Menjalin, Kampung Sosok dan kampung-kampung sekitar Ngabang, Kembayan di Kabupaten Sanggau dan lain-lain. Pertemuan Samalantan menandai adanya demontrasi. Sebagian besar penduduk yang diwawancara, mengemukakan alasan sama ketika ikut demontrasi. “Siapa yang memerintahkan demontrasi?” “Oevaang Oeray.” Menurut buku Sejarah Singkat Perkembangan Pemerintah Daerah Tingkat I Kalbar, Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray menjadi Gubernur Kalbar, 1959-1966. Dia satu-satunya orang Dayak, sebelum reformasi yang pernah menjadi gubernur di Kalbar. Presiden Suharto menuduh Oevaang terlibat kegiatan PKI. Karena tak mau dikatakan PKI, tokoh sentral dan jadi panutan warga Dayak itu, ingin membuktikan dirinya bukan anggota PKI. Oevaang berkata, dia akan menyelesaikan masalah itu dalam waktu tujuh hari. Dalam jangka itu, orang Tionghoa sudah akan pindah dari tempatnya. Dalam waktu seminggu, orang Tionghoa harus mengungsi dan meninggalkan tempatnya di pedalaman. Selama waktu tujuh hari itulah, sekitar 70 ribu orang Tionghoa meninggalkan rumahnya. Banyak orang jalan kaki dan diangkut kendaraan. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat di Lumar dan Molo, mereka ikut demonstrasi dan mengusir orang Tionghoa, karena ada sembilan orang dibunuh. “Kalau mereka tidak dibunuh, mungkin, orang Dayak tak bertindak,” kata Durani, warga Dusun Sebol, Bengkayang. Abin, 76 tahun, warga Dusun Molo, ketika peristiwa itu terjadi, tiba-tiba ada seruan melalui Mangkok Merah. Upacara Mangkok Merah dilaksanakan dengan upacara adat, berupa penyembelihan babi dan ayam. Darah hewan tersebut ditaruh dalam satu mangkok kecil. Seperti mangkok sloki. Mangkok harus diedarkan dari kampung ke kampung. Bagi warga Dayak, Mangkok Merah merupakan ajakan dan memenuhi panggilan perang. Ketika Mangkok Merah sudah berjalan dari kampung ke kampung. Mangkok Merah harus dilanjutkan ke kampung di sebelahnya. Diedarkan secara berantai. Yang mengantar Mangkok Merah biasanya pemuda di daerah tersebut. Orang yang dilewati jalur Mangkok Merah, harus memenuhi panggilan itu. Namun, Abin maupun Durani, atau penduduk lainnya, tidak tahu dari daerah mana Mangkok Merah berasal. “Tahu-tahu Mangkok Merah sudah beredar,” kata Abin. Kecamatan Lumar di Bengkayang, termasuk pusat terjadinya peristiwa pengusiran atau ethnic cleansing peristiwa 1967. Ada dua tempat yang dianggap pusat tempat tinggal orang Tionghoa. Namanya Piong San dan Sepang. Sebagian besar penduduk di Lumar, ikut dalam demontrasi. Mereka ikut demontrasi hingga ke Tebas, Sebakau, dan Semparuh di Sambas. Aten, warga Lumar menuturkan, sebelum berangkat demonstrasi, mereka mengadakan upacara pelangkah atau upacara adat. Menyembelih anjing dan ayam, sebagai penghormatan dan minta izin ruh leluhur. Setelah melakukan upacara, setiap orang diisi dengan berbagai kesaktian. Juga ada jimat dari taring babi, tanduk rusa, dan lainnya. Jimat berfungsi melindungi tubuh dan kebal dari bacokan senjata tajam atau api. Ketika semua sudah siap, rombongan berangkat dipimpin seorang panglima. Panglima inilah yang menuntun penduduk, sehingga mereka bisa berjalan cepat. “Jalan tak terasa. Seperti tidak sadar. Yang terlihat hanya bayangan dan kelebatan pohon di hutan,” kata Aten. Aten dan penduduk di Lumar, pernah demonstrasi ke Tebas, Sebakau, dan Semparuk, di Sambas. Jumlah mereka mencapi 800-an orang. Bila jalan biasa, jarak Lumar dan Sambas ditempuh dalam waktu 24 jam. Dengan ilmu itu, perjalanan hanya butuh waktu empat jam saja. Ada tariuh. Teriakan melengking memanggil dan minta bantuan pada arwah leluhur. Upacara untuk mendapatkan kekuatan itu disebut Matok. Efeknya, orang sepuluh akan terlihat seperti seribu orang. Junaedi, guru SD di Dusun Sebol, Desa Tiga Berkat, Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang, menceritakan pengalamannya. Ketika melihat orang demontrasi, dan keliling sambil membawa senjata tajam, dia sempat demam melihatnya. Jatuh Sakit. Pengikut demontrasi dibuat sistem silang. Misalnya, warga kampung A melakukan aksi di kampung C. Orang kampung B, melakukan aksi di kampung D. Sistem dibuat seperti itu, karena antara orang Dayak dan Tionghoa, sangat dekat dari dulunya. Dalam sejarah awal masuknya orang Tionghoa ke Kalbar, sebagian besar mereka terdiri dari bujangan. Mereka datang dan bekerja sebagai penambang emas. Generasi awal ini berasimilasi dan menikah dengan perempuan lokal, Dayak, Melayu atau lainnya. Karenanya, kehidupan antara warga Tionghoa dan etnis lain, Dayak khususnya, sangat akrab. Mereka diikat oleh suatu perkawinan. Penduduk hidup berdampingan. Ketika terjadi pengusiran, warga Tionghoa di perkampungan diberitahu terlebih dulu. Yang melakukan pengusiran dari kampung lain. Awalnya, warga Tionghoa diam saja, ketika barang-barang di rumah diambil. Karena takut dan tidak tahan lagi, mereka menyingkir dan mengungsi. Orang Dayak datang demonstrasi dengan mengenakan ikat kain merah di kepala. Mereka berteriak dengan lengkingan tinggi, sebelum mendatangi perkampungan. Orang Dayak seperti kerasukan ruh dan trance, sebelum melakukan pengusiran. Kalau ada orang Tionghoa melawan, akan dibunuh. Ketika terjadi pengusiran terhadap orang Tionghoa di Bengkayang, Letkol Harsono Subardi, Eks Biro Intel POM Kodam Tanjung Pura, menemui beberapa panglima Dayak. Salah satunya, Panglima Sopa di Bengkayang. Dia melarang Panglima Sopa membunuh orang Tionghoa. “Boleh memanfaatkan barang-barang dan menempati rumah. Tapi jangan membunuh,” kata Harsono. Membunuh adalah pelanggaran hukum. Warga Tionghoa biasa, tidak tahu menahu tentang PGRS-PARAKU. Dia bertugas di Bengkayang, menentramkan orang Dayak, untuk tidak mengadakan pembunuhan. Orang Dayak tunduk dengan militer. Sehingga dia langsung menemui para panglimanya. “Kalau tidak akan habis masyarakat Tionghoa di sana,” kata Harsono. Nah, di Pahuman sampai terjadi pembunuhan satu kampung terhadap orang Tionghoa, karena tentara tidak ada yang mengawasi ke sana. Menurut Pastor Herman, dalam demontrasi orang Dayak memegang teguh pada dua B, Bakar dan Bunuh. Dua hal itu harus dihindari. Namun, satu bulan setelah peristiwa pengungsian, banyak dari pemuda Tionghoa yang masuk ke hutan keluar, untuk mengadakan perlawanan. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan berbagai pertumpahan dan pembunuhan. Demontrasi dipersiapkan dengan sangat baik, sistematis dan cepat. Dari penuturan Tyhie Dju Khian atau Petrus yang diperolehnya dari badan dunia yang menangani pengungsi saat itu, tercatat ada sekitar 3.000 orang meninggal dalam pergolakan ini. Sekitar 70 ribu orang mengungsi, meninggalkan tempatnya. Pemerintah menyebut peristiwa 1967, sebagai Pergolakan Rakyat. Dalam peristiwa itu, terjadi pengusiran warga Tionghoa di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia, oleh masyarakat Dayak. Selain berbagai penyebab di atas, ada satu cerita yang membuat orang Dayak, ikut melakukan pengusiran terhadap orang Tionghoa. Peristiwa itu disebut dengan Peristiwa Sepasa. Sepasa merupakan daerah di Bengkayang. Durani, 79 tahun, cerita padaku tentang peristiwa itu. Secara tepatnya, orang tidak tahu, kapan tepatnya peristiwa ini terjadi. Cerita ini dituturkan dari mulut ke mulut oleh orang tua, kepada anak-anak mereka. Cerita Sepasa dianggap sebagai satu alasan, orang Dayak ikut membunuh dan memburu Tionghoa di pedalaman. Cerita Sepasa merupakan peristiwa pembunuhan yang dilakukan orang Tionghoa, terhadap penduduk Dayak di Kampung Sepasa. Ketika itu, orang Tionghoa dikenal sebagai pemberani. Punya senjata api dan bekerja di sungai-sungai yang penuh dengan butiran emas. Orang Dayak takut bila punya masalah dengan orang Tionghoa. Perkampungan mereka terpisah. Suatu ketika, orang Tionghoa merasa dilecehkan, karena sumber air yang menjadi sumber penghidupan, ternoda oleh kotoran manusia. Orang Tionghoa beranggapan, orang Dayak pelakukannya. Maka dipanggil semua orang Dayak di Kampung Sepasa, dan dibuatkan pesta. Orang Dayak datang dan tidak merasa curiga. Semua makanan dihidangkan. Babi dipotong sebagai hidangan. Setelah itu, orang Tionghoa menghidangkan minuman arak. Orang Dayak menikmati semua hidangan, dan minum arak sehingga mabuk berat. Usai mabuk dan tak berdaya, orang Tionghoa membunuh semua tamu mereka. Namun, ada satu orang berhasil lolos. Orang ini bercerita pada masyarakat di sekitarnya. Usai peristiwa itu, orang Dayak tak ada yang berani melawan. Mereka takut dengan berbagai peralatan dan senjata orang Tionghoa. Teknologi dan persenjataan orang Tionghoa lebih unggul. Senapan Lantak dan parang panjang, dibuat orang Dayak, setelah mereka belajar dari orang Tionghoa. Sehingga ketika ada kesempatan untuk membalas, mereka melakukannya dengan semangat untuk mencari eksistensi diri. Selain itu, peluang ekonomi, harta rampasan, dan kekuasaan. Dan, setelah orang Tionghoa terusir, terjadi perebutan rumah, tanah, dan berbagai aset lainnya. Kekosongan penduduk ini, diisi etnis lainnya. Sehingga timbul persaingan baru dalam pengelolaan aset, peluang ekonomi, pekerjaan dan lainnya. Semua itu, pada tahap selanjutnya, menjadi salah satu pemicu konflik di Kalbar. Akibat peristiwa 1967, militer kembali menghidupkan budaya Ngayau atau memotong kepala. Padahal, budaya mengayau sudah berhenti di Kalimantan, pasca pertemuan semua suku Dayak Tumbang Anoi di Kalimantan Tengah, 1894. Prof KMA M. Usop, dalam bukunya berjudul Pakat Dayak menulis, pertemuan itu mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, yaitu persaudaraan, perdamaian dan kesadaran tertib hukum. Semua nilai-nilai itu hancur, karena kebutuhan operasi militer dalam rangka penumpasan gerilyawan PGRS-PARAKU. “Demontrasi” Kalender menunjuk angka, 31 Oktober 1967. Siang itu, suasana perkampungan yang biasanya tenang dan damai, sontak berubah. Aaauuuu....Aaauuuu...Aaauuuu. Suara itu riuh terdengar. Saling menyambung dan bersahutan. Memenuhi ruang dan udara perkampungan. Nada suaranya serempak. Terkadang acak. Iramanya bagai lolongan srigala sedang mengejar mangsa. Suara berasal dari ratusan orang. Kepala mereka diikat kain merah. Ada yang memegang tombak, mandau, dan senjata tajam lainnya. Rombongan itu mendatangi satu persatu rumah. Sesampai di setiap rumah, mereka langsung mengambil berbagai perabot rumah dan barang yang ditinggal pemiliknya. Bila ada yang melawan dan menghalangi, tak segan mereka mengayunkan senjata terhunus itu. Hasilnya, kepala terpisah dari raga. Dari sebuah tempat yang jauh dari perkampungan, sepasang mata mengawasi peristiwa itu. Bersama keluarganya, ia telah menyingkir terlebih dahulu, sebelum rombongan datang. Apa boleh buat, ia memang harus menyingkir. Lelaki itu bernama Tyhie Dju Khian. Ia biasa dipanggil Petrus. Orang tuanya bernama Ci Siu Dzie, datang dari Kabupaten Kwantung, Provinsi Ciu Liang, Tiongkok. Ci Siu Dzie mengajar bahasa Mandarin. Ketika datang ke Kalbar, Ci masih bujangan. Setelah itu, dia menikah dengan perempuan Dayak. Keluarga itu beranak pinak di Sebadu. “Kami kerja apa saja di kampung. Bertani, dagang, dan beternak,” kata Petrus. Petrus tinggal di dekat Jalan Raya Sebadu, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak. Jaraknya 88 km arah timur Pontianak. Di Kampung Sebadu ada 40 pintu. Orang di kampung itu, rukun dan tidak mau saling mengganggu. Dia menempati rumah toko di belakang pasar Sebadu. Di depan rumahnya ada jalan masuk ke desa. Pergaulan orang Tionghoa dan Dayak, sangat akrab. Mata pencarian orang Dayak sebagai petani. Orang Tionghoa juga. Di kampung itu, 80 persen petani. Orang Tionghoa 60 persen menjadi petani. Namun, orang Tionghoa ada juga jadi pedagang. Rumah tinggal mereka berupa rumah toko. Rumah tidak bertingkat. Di kampung itu, dia punya banyak saudara. Sebagian sudah punya rumah sendiri. Ketika peristiwa itu terjadi, Petrus berusia 27 tahun. Istrinya, Dyong Sin Lan, 27 tahun. Mereka punya dua anak, berusia 5 dan 2 tahun. “Dulunya, orang tua kami sudah punya oto tiga buah. Mobil itu untuk mengangkut penumpang ke Pontianak,” kata Petrus. Dia menjadi salah satu supirnya. Sejak umur 22 tahun, dia sudah biasa kerja. Sebelum peristiwa itu terjadi, Petrus sudah diberitahu tetangganya, orang Dayak. Akan ada demontrasi. Petrus pernah sekolah dan tinggal di Pontianak. Jadi, dia tahu demontrasi seperti apa. Hanya unjuk rasa. “Tapi, ketika terjadi peristiwa pada kami, ternyata unjuk rasanya tidak sama,” kata Petrus. Orang yang datang berdemontrasi langsung bongkar pintu, rumah dan sebagainya. Mengambil apa saja yang ada di rumah. Merampas semua harta kekayaan. “Yang menyerang kampung kami, dari kampung lain dan tidak dikenal,” kata Petrus. Dari jalan depan rumahnya, Petrus bisa melihat orang Dayak turun menuju kampungnya. Jumlahnya ratusan orang. Seorang tetangga dari suku Dayak, bicara padanya, “Kamu masuk saja ke rumah saya. Itu orang-orang mau membongkar rumah yang ada di depan. Mereka dari kampung lain.” Merasa tak aman lagi, Petrus mengajak keluarganya meninggalkan rumah. Mereka menyusuri jalanan kecil, menuju jalan besar. Jarak puluhan kilo meter. Ia ketemu rombongan pengungsi lain. Mereka menggendong anak kecil, dan menandu orang tua berusia lanjut. Petrus sempat mengungsi ke gereja Sebadu. Seorang pastur berkebangsaan Amerika menyambutnya. Lelaki itu bernama Goodmen. Ia seorang misionaris di gereja Sebadu. Mereka ditampung selama empat hari di gereja. Di sana ada juga beberapa keluarga mengungsi. Setelah menginap empat hari empat hari di gereja Sebadu, Petrus diantar Goodmen menuju pasar Senakin. Jarak 18 km. Seorang warga Dayak yang mengenalnya memberi kabar. Ada tiga peristiwa bakal terjadi. Pertama, perampasan. Kedua, pembakaran. Ketiga, pembunuhan. Sesampai di Senakin, ia mendapat kabar, pasar Senakin telah dibakar. Karenanya, ia segera berangkat ke Mandor. Mereka diantar pendeta hingga ke Mandor. Ada bus dari Mandor menuju Pontianak. Dari Mandor, Petrus sewa mobil angkutan, jenis colt diesel. Begitu menaikkan anak dan istri, tiba-tiba mobil sudah penuh. Banyak orang menumpang. Dia sendiri tidak mendapatkan tempat, dan terpaksa duduk di atap mobil. Ia tidak membawa apa pun, kecuali uang. Beda halnya dengan penumpang lain. Ada yang bawa ayam, kelapa, padi dan lainnya. Bila ada yang bawa tiga butir kelapa, satu untuk sewa mobil. Begitu juga dengan ayam, padi atau lainnya. Mobil berangkat dari Mandor jam enam sore. Tiba di Pontianak jam 11 malam. Saat itu, ada juga mobil yang tidak ada sopirnya. Akhirnya, kernet mengemudikan. Kernet belum pandai bawa mobil. Pas di tikungan menurun, mobil menghantam tiang kayu. Dalam kejadian itu, dua orang meninggal dunia. Ada beberapa daerah yang paling parah terjadi pada peristiwa itu. Mereka tidak tahu, karena penyerangan berlangsung dengan tiba-tiba dan sangat cepat. Seperti terjadi di Menjalin, Tohok, dan Mandor. Yang paling parah terjadi di Senakin. Korban banyak terjadi di pasar Senakin. Pasar itu dibakar. Penduduk Tionghoa yang sebagian besar tinggal di sekitar pasar Senakin, melakukan perlawanan. Sebagian besar orang Tionghoa dibunuh. Orang Dayak juga banyak di sekitar Senakin. Bahkan, di sebuah sungai kecil, ada banyak mayat. Warna sungai itu merah oleh darah. Sesampai di Pontianak, Petrus ditampung di sekolah Tionghoa di Siantan. Namanya Sin Hua atau Fajar Harapan. Ia hanya dua hari di penampungan. Setelah itu pindah ke gereja. Banyak juga orang ditampung di gudang karet milik Cu Yu Ming. Karet itu dikeringkan di gudang-gudang itu. Kebetulan ada pamannya beli rumah di Pontianak. Rumah itu segera ditempati. “Kalau orang yang tidak punya kenalan atau saudara di Pontianak, sangat menderita dan susah,” kata Petrus. Petrus tak begitu susah di Pontianak. Dia pernah tinggal di Pontianak, ketika remaja. Dia mengenyam pendidikan SMP di Pontianak. Banyak kenalannya di Pontianak. Teman-teman inilah yang banyak membantunya. Selain itu, dia bisa mengemudi, sehingga mudah saja cari kerja. Saat itu, belum banyak orang bisa mengemudi. Petrus juga bisa kerja kantoran. Karenanya, anak-anak langsung bisa sekolah. Para pengungsi di Pontianak bekerja keras. Pekerjaan apa saja akan dilakukan. Pokoknya kerja keras. Kuli angkut. Tukang sampan. Narik becak dan lainnya. Orang yang tidak ada saudara dan tidak ada kerjaan, banyak jadi pengemis. Pemerintah luar negeri banyak memberi bantuan. Di sebuah tempat bernama Toho, 75 km arah timur Pontianak, serombongan orang berjalan menyusuri pematang sawah. Mereka berjalan dalam gelap. Menghindari jalan utama. Rombongan terdiri dari kanak, remaja, dan orang tua. Jumlah rombongan ada ratusan orang. Mereka tersebar dalam beberapa kelompok. Seorang perempuan usia 21 tahun, ikut dalam satu rombongan. Namanya Fung Jin. Ia anak keempat dari sepuluh saudara. Tiga perempuan dan tujuh lelaki. Ia berjalan sambil menggendong adiknya. Fung Jin kelahiran 1948. Semenjak lahir hingga besar, tinggal di TohoKetika peristiwa itu terjadi, ada orang dari kampung lain mendatangi kampungnya. Mereka membawa mandau. Setiap orang mengikat kepalanya dengan kain merah. Setelah merasa tak aman, keluarganya menuju Mandor. Bila ada anak kecil, mereka digendong keluarganya. Orang sepuh diusung dengan tandu. Sangking takutnya, ada orang tua membekap anak sendiri hingga meninggal. Anak itu sering menangis. Suara tangis bakal membuat seluruh rombongan terancam keberadaanya. “Takut sekali. Dan anak itu tidak bisa diam,” kata Fung Jin. Fung Jin menyaksikan peristiwa itu. Ada juga anak balita ditinggalkan di kampung dan di jalan oleh keluarga pengungsi. Kebanyakan yang ditinggal adalah anak perempuan. Anak lelaki dianggap sebagai penerus marga. Banyak juga perempuan Tionghoa tertangkap orang Dayak. Mereka dijadikan istri. Biasanya orang Dayak tidak menangkap perempuan yang mengendong anak kecil. Setelah berjalan semalam, mereka tiba di Mandor. Kabar yang mereka terima, Mandor aman. Namun, setiba di Mandor ternyata tidak aman. Mereka meneruskan perjalanan ke Sungai Pinyuh. Dari Sungai Pinyuh, perjalanan dilanjutkan ke Pontianak. Setelah berjalan sehari-semalam, rombongan pengungsi tiba di Pontianak. Mereka ditampung di sekolah Sin Hua atau Fajar Harapan, Siantan. Di penampungan dapat bantuan makanan, pengobatan, dan lainnya. Ada bantuan dari luar negeri seperti, Taiwan, Singapura, Australia, Amerika, dan lainya. Di penampungan banyak yang mati. Mereka terkena kolera, demam, dan lainnya. Meski ada pelayanan dokter gratis, namun pada hari tertentu. Pemerintah kurang begitu banyak menangani. Yang banyak membantu Yayasan Tionghoa. Setelah tinggal beberapa lama di penampungan, Fung Jin dan keluarganya direlokasi di Kalimas, Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya. Di penampungan hingga ke relokasi, dia ikut dengan orang tua. Di relokasi dapat suami. Setelah tinggal di Kalimas sekitar 14 tahun, ia pindah ke Pontianak. Di Pontianak, anak-anaknya mulai bangkit. Membuka usaha. Memperbaiki nasib. Dan membuka lembaran hidup baru. Berjuang Menyelamatkan Hidup Di sebuah tempat bernama Montrado, Liu Hian Kit, berjuang menyelamatkan nyawa. Montrado dulunya wilayah Kabupaten Sambas. Setelah pemekaran, Montrado termasuk Kabupaten Bengkayang. Montrado berjarak 165 km arah utara Pontianak. Liu Hian Kit berumur 23 tahun, ketika itu. Ia tidak menyangka, bakal terjadi peristiwa penyerangan terhadap orang Tionghoa oleh orang Dayak. Dalam kehidupan sehari-hari, kedua etnis itu akur adanya. Bahkan, ia juga biasa minum arak bareng dengan orang Dayak. Hingga kini, Liu Hian Kit tidak pernah bisa lepas dari arak. Dalam satu hari, ia bisa menghabiskan satu liter arak. Dulu, kehidupannya termasuk mapan. Ia hidup dari pertanian. Menanam sahang, karet dan padi. Ada puluhan ekor babi. Ia juga memelihara puluhan ekor sapi. Sapi dipelihara dari para pemilik ternak. Setelah besar dan berkembang biak, sapi dibagi antara pemilik dan pemelihara. Perbandingannya, tiga dibanding satu. Tiga untuk pemilik dan satu untuk pemelihara. Sehari sebelum kejadian, ada temannya orang Dayak memberitahu. Kalau dia tidak pergi, bisa terbunuh. Semua orang diberitahu terlebih dahulu. Kalau lari tidak akan diapa-apakan. Tapi, kalau melawan, akan dibunuh. Semua orang pergi tanpa membawa apa pun. Kalau ada yang menyembunyikan emas dalam baju misalnya, akan digeledah. Ketika rombongan orang Dayak ke kampungnya, ia sudah meninggalkan rumah menuju hutan terdekat. Jumlahnya ada ribuan. Tersebar dalam berbagai kelompok. Mereka sembunyi. Tidak ada yang bawa makanan. Hendak lari ke Singkawang takut, karena kuatir bakal dicegat di tengah jalan. Lagi pula tidak ada uang untuk biaya perjalanan. Bagi orang kaya dan punya persediaan uang, mereka bisa langsung sewa kendaraan menuju Singkawang. Semua miliknya dalam bentuk barang. Dan ketika rombongan orang Dayak mendatangi kampung, semua barang itu diambil. Tak tersisa. Ia lari ke hutan hingga enam bulan. Selama itu, mereka makan apa saja. Ada ubi, umbi-umbian, dedaunan, kelapa, makan ubi, atau apa saja. Ada 20 orang tertangkap, namun tak jadi karena ada tentara. “Kalau tak ada tentara di sana, orang Tionghoa akan habis,” kata Liu Hian Kit. Setelah merasa aman, dia bersama sepuluh keluarganya menuju penampungan di Montrado. Penampungan itu dijaga militer. Dari Montrado dibawa dengan mobil palang merah menuju Singkawang. Ada penampungan untuk pengungsi di Singkawang. Penampungan berupa gudang karet. Liu Hian Kit tinggal di penampungan Singkawang hingga dua tahunan. Setelah itu, ia pindah ke penampungan di sekolah Fajar Harapan, Siantan, Pontianak. Setelah tinggal di penampungan, pada 1969, pemerintah menempatkan pengungsi ke relokasi di Kalimas, Punggur, Kabupaten Kubu Raya. Setiap pengungsi diberi lahan selebar 25 depa. Satu depa setara dengan 1,5 meter. Diberi rumah berukuran 6 kali 4 meter. Rumah dari kayu. Pengungsi juga dapat cangkul, sabit, pupuk, dan jatah makan selama setahun. Masing-masing orang secangkir beras sehari. Bila dalam keluarga ada empat orang, berarti dapat empat cangkir beras dalam sehari. Sewaktu pertama kali pindah ke Kalimas, ada 30 KK ditempatkan di sana. Setelah penempatan relokasi pengungsi pertama, diikuti dengan gelombang pengungsi berikutnya. Ada empat lokasi penampungan di Kalimas. Pemerintah juga membuatkan 500 rumah untuk pengungsi di Siantan Tengah. Namanya Parit Baru. Sekarang ini, penduduk di Kalimas menanam sayur mayur, timun, cabe rawit, padi dan kelapa. Selama berkebun, segala suka dan duka ia rasakan. Ketika panen, hasil kebun dijual ke Pontianak. Tapi, ada juga pedagang pengumpul datang ke Kalimas, membeli hasil kebun mereka. Harga terkadang tidak jelas. “Kalau panen murah,” kata Liu Hian Kit. Bila dulunya punya banyak kekayaan, sekarang ini tidak punya apa-apa. Ketika teringat peristiwa itu, dia marah dan sakit hati. Liu masih ingat orang-orang yang telah memotong kepala di kampungnya, hingga sekarang. Dia memilih sikap, tidak membolehkan anaknya menikah dengan orang Dayak. Seorang warga Roban Tama, Singkawang, A Ki, 65 tahun, menceritakan pengalamannya ketika harus mengungsi. Dulunya, ia tinggal di Montrado. Bekerja sebagai penoreh getah karet. Getah dibawa ke pasar Montrado. Sebelum demontrasi, ada pemberitahuan bahwa orang Tionghoa di daerah itu, akan dihabisi. Mereka diminta kabur terlebih dahulu. Kalau tidak mau kabur, akan dipotong lehernya. Isu itu begitu kuat. Akhirnya orang di kampungnya lari semua. Tanpa membawa apa pun. Cuma pakaian singlet dan celana pendek. Ia bersama masyarakat di dusunnya berjalan hingga di Pakucing, Singkawang. Berangkat jam sepuluh malam dengan berjalan kaki. Sampai di Pakucing jam enam pagi. Setelah itu, ada jemputan dari tentara. Dalam rombongannya ada bayi, anak, dan orang tua. Suasana sangat panik. Ia seperti mati rasa. Bingung. Semua campur aduk. Dia terpisah dengan orang tuanya. Kedua orang tuanya kembali ke hutan. A Ki berjalan menuju ke Kota Singkawang, bersama 20 orang lainnya. Namun, kedua orang tuanya, akhirnya juga dijemput oleh tentara. Ia termasuk orang pertama di pengungsian. Penampungan pertama berada di Kali Asin, Singkawang. Bersama 300 ratusan orang lainnya, ia menempati sekolah bagi warga Tionghoa. Dia di sana selama 2-3 bulan. Setelah itu, pindah ke penampungan di Roban Tama. Orang tuanya berada di penampungan Kuala. A Ki dan orang tuanya bertemu di penampungan Roban Tama. Orang tuanya dipindahkan dari penampungan Kuala ke Roban Tama. Roban Tama ketika itu merupakan gudang karet besar, milik CV Tama. Karenanya, diberi nama Roban Tama. Pemiliknya bernama Suhardi atau A Can. Dia juga pemilik bioskop Kota Indah, Singkawang. Kini, semua gudang dan bekas pabrik pengolahan karet itu sudah hilang. Pun bangunannya. Namun, di lahan itu, masih terlihat bekas pondasi gudang karet sebanyak empat gudang. Ada bak besar berukuran 10 kali 20 meter, untuk mencuci karet. Dari bak inilah, dulunya getah karet dicuci, setelah itu dikeringkan dengan cara diasapi atau disalai, sehingga kering. A Ki berada di penampungan selama lima tahun. Dalam sehari, dia mendapat jatah secangkir beras. Selama di penampungan, dia kerja dengan membantu orang berkebun. Dia minta orang mempekerjakannya sebagai tenaga buruh. Setelah berada di penampungan, dia bekerja sebagai penjual kayu bakar. Kayu itu dicari dari hutan di sekitar Roban Tama. Di penampungan inilah, dia kenal dengan A Cau, yang kini menjadi istrinya. Letkol Harsono Subardi, Eks Biro Intel POM Kodam XII Tanjungpura menuturkan pengalamannya, ketika bertugas di Singkawang mengawal dan mengamankan para pengungsi. Ketika bertugas di sana, komandannya bernama Mayor Jafar. Sekarang ini, dia sudah meninggal. Dia mengamankan para pengungsi dari Singkawang hingga ke Montrado dan Capkala. Di sana, banyak orang Tionghoa terusir. Para pengungsi dikejar terus sampai di Kulor, Singkawang. Tentara dengan menggunakan truk, juga mengungsikan orang Tionghoa ke Pontianak. Mereka tidak bawa apa-apa. Hanya peralatan memasak dan baju. Kalau bawa barang-barang, akan susah dalam perjalanan. Sebagian orang Dayak, malah akan menyerbu hingga ke Kota Singkawang. Ada sekitar 40 orang. Saat masuk ke Roban, perbatasan Kota Singkawang, senjatanya dilucuti di perbatasan. Mereka ditangkap dan ditahan. “Kalau panglima instruksinya adalah, tidak boleh menyerang kota kabupaten. Kita melindungi benturan antara masyarakat. Boleh melawan PGRS-PARAKU yang bersenjata. Yang tidak bersenjata tidak boleh,” kata Harsono. Akibat peristiwa itu, Kota Singkawang penuh dengan para pengungsi. Saat itu, sulit untuk mengungsikan dan membawa pengungsi. Mobil di Singkawang hanya ada lima. Empat mobil tentara dan satu mobil orang Tionghoa kaya di Singkawang. Namanya, Tek Long. Kebanyakan masyarakat menggunakan sepeda. Becak tidak ada. Oplet tidak ada. Motor adanya merek Humme DKW. Sebagian besar rakyat tidak bisa bahasa Indonesia. Ketika itu, banyak pengungsi bekerja apa saja. Jadi pembantu, kerja cari air di sawah, petani, dan lainnya. Ada juga pengungsi tak bisa memberi makan anaknya. Anak itu diberikan pada orang. Beberapa kali pengungsi datang ke rumah Harsono, menyerahkan anak kecil supaya dipelihara. “Bayar terserah bapak. Asal bisa untuk hidup,” kata sang pengungsi. Tapi, karena dia sudah punya banyak anak, tidak mau mengadopsi anak lagi. Saat itu, kesulitan hidup sangat luar biasa. Banyak anak Tionghoa dititipkan dan diadopsi keluarga lain. Banyak juga perempuan remaja diambil istri oleh orang Taiwan. Rentetan pengungsian itu, menimbulkan peristiwa kemanusiaan yang luar biasa pedih. Lara, tiada berbatas. Penampungan Pengungsi Sebuah bangunan tak lagi utuh. Pada suatu tanah lapang penuh semak dan rumput liar. Bangunan dua lantai itu, seluruhnya terbuat dari kayu. Luas bangunan sekitar 20 kali 30 meter. Pada beberapa bagian bangunan, kayu telah mulai keropos dan lapuk. Waktu, cuaca dan manusia, melemahkan fisik bangunan itu. Namun, struktur, bentuk dan detail sisa-sisa kejayaan bangunan, masih terlihat pada berbagai sisinya. Ada bak air berukuran tiga kali enam meter dengan tinggi satu setengah meter. Bak ini berfungsi mencuci lembaran karet. Sebuah tungku bulat berukuran satu meter dengan bentuk memanjang. Pada ujung tungku, terhubung dengan satu ruangan. Yang terdiri dari beberapa tonggak kayu. Bentuknya tersusun dan bertingkat ke atas. Di tempat inilah, lembaran-lembaran karet dikeringkan dengan cara diasapi atau disalai. Ya, di bangunan ini, masa kejayaan karet pernah ditorehkan. Dari salah satu bangunan ini, Singkawang pernah mengekspor 700 ton karet ke Singapura setiap bulannya. Harga karet mentah berkisar Rp 5 ribu per kilo. Harga karet kering sudah jadi sekitar Rp 11-12 ribu. Namun, pascaperistiwa ethnic cleansing terhadap orang Tionghoa di sepanjang perbatasan, industri karet langsung hancur. Kenapa? Karena pemilik kebun karet, tukang sadap karet, semuanya mengungsi. Kini, bangunan tua itu, teronggok tak terurus. Padahal, bangunan ini saksi sejarah dari tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi. Bangunan itu ada di Kuala, Gang Kelapa Mas, Singkawang Barat. Seorang mantan pekerja karet yang tinggal di daerah itu, menceritakan padaku, tentang keberadaan bangunan. Namanya Asmawi, lahir 1929. Asmawi tinggal di Kuala sejak 1962. Gudang karet banyak terdapat di Singkawang pada 1960-an. Asmawi tinggal di sebuah pondok kecil berukuran tiga kali enam meter. Seluruh pondok terbuat dari papan kayu. Rumah itu sederhana sekali. Status bangunan menumpang pada tanah pemilik gudang. Namun, ia terlihat menikmati kehidupannya. Terima hidup apa adanya. Asmawi pernah bekerja sebagai pencuci karet. Perusahaan itu terdiri dari beberapa bagian. Ada pekerja yang khusus mencuci dan menggantung karet. Jumlahnya enam orang. Tukang bakar ada satu orang. Tugasnya menjaga tungku api supaya terus menyala. Dia harus memasukkan kayu ke dalam tungku. Ada tukang gunting getah yang sudah kering. Jumlahnya delapan orang. Tugasnya memotong lembaran karet yang sudah disalai dan kering. Tukang bungkus ada delapan orang. Tugasnya membungkus karet yang sudah dipotong, dan memasukkannya ke bungkus plastik. Satu bungkus karet beratnya sekitar 113 kilogram. Setelah dibungkus, karet siap diekspor melalui pelabuhan Singkawang. Asmawi bertugas mencuci karet, sebelum dimasukkan ke ruangan khusus, untuk disalai. Kerjanya borongan. Pada 1960, satu ton karet dibayar Rp 10 ribu. Satu ton selesai dua hari. Uang Rp 10 ribu dibagi tujuh pekerja. Di bangunan itu, ada tujuh tungku pembakaran, dan tujuh kamar pengeringan karet. Satu kamar mampu keringkan 18 ton karet sehari. Lama pengeringan sekitar seminggu. Untuk mensalai menggunakan batang kayu karet atau kayu tamau. Satu kamar butuh 10 meter kubik kayu. Kayu diperoleh dari hutan di sekitar Singkawang atau membeli. Ada pemasok kayu. Yang khusus menangani hal itu. Dalam satu hari, dari tujuh kamar itu, harus ada yang selesai, sehingga bisa dikirim. Karet dikirim melalui pelabuhan Kuala. Sekali kirim 100 ton. Pengiriman menggunakan kapal laut. Dari pabrik dibawa dengan perahu kecil. Setelah itu, dibongkar dan dipindahkan ke kapal laut lebih besar. Pelabuhan laut ada di ujung pelabuhan Kuala. Jaraknya sekitar 3 kilometer. Ketika terjadi pengungsian secara besar-besaran menuju Singkawang, seluruh bangunan dan gudang karet menjadi tempat pengungsian. “Saat itu, di Singkawang ada 14 pengasapan dan gudang karet,” kata Tomidi. Singkawang menjadi pusat penampungan pengungsi dari wilayah Bengkayang dan Sambas. Bupati Sambas saat itu, Nurdin. Pengejaran terhadap orang Tionghoa hingga di Roban, Singkawang. Pengungsi di Kota Pontianak, biasanya datang dari Sanggau, Landak atau Kabupaten Pontianak. Darius Iskandar, 80 tahun, seorang tetua masyarakat Tionghoa di Singkawang, bercerita tentang kondisi pengungsi saat itu. Dia punya gudang dan rumah di Pasiran serta Roban, yang ditempati pengungsi. Ia mau melakukan itu, karena ingin membantu pemerintah dan masyarakat. Dulunya, dia pedagang dan punya CV Sampurna. CV ini menampung dan membeli karet dari Bengkayang. Setelah diolah dan dikeringkan, karet diekspor langsung ke Singapura melalui pelabuhan Singkawang. Biasanya dengan kapal tongkang. Gudang karet di Kuala, termasuk paling akhir ditempati pengungsi. Dengan ditempatinya berbagai gudang karet, praktis produksi pengolahan karet terhenti. Para pekerjanya, seperti Asmawi, beralih menjadi petugas yang menangani pengungsi. Bersama mantan pekerja karet lainnya, dia melakukan penjagaan gudang karet setiap hari. Kalau malam, mereka giliran ronda. Kuatir ada pencurian. Tak ada polisi atau tentara berjaga di pengungsian. Masyarakat sekitar secara gantian melakukan penjagaan. “Pengungsi tak mau bercerita apa pun, tentang peristiwa yang terjadi dengan orang lain,” kata Asmawi. Orang yang datang ke pengungsian, biasanya menggunakan pakaian sederhana. Malah banyak yang sobek-sobek. Mereka tak sempat membawa barang-barang berharga. Seperti, emas, intan, dan perhiasan lainnya. Kalaupun ada barang berharga, mereka akan menguburnya ketika mengungsi. Perhiasan disimpan dalam cangkir atau piala kecil. Setelah itu ditanam di kebun dengan ancar-ancar sebuah pohon besar. Atau, tanda lain yang tak gampang hilang. Karenanya, tak heran ketika peristiwa itu telah terjadi puluhan tahun lamanya, ada beberapa orang Tionghoa di Bengkayang, masih bisa menemukan barang berharga yang mereka tanam di kebunnya, dulu. Selama di penampungan, pengungsi tidur sembarangan dan tak beraturan. Pokoknya asal tidur saja. Bertumpuk-tumpuk seperti ikan. Pengungsi dapat jatah makan sehari dua kali. Makanan berupa nasi atau bubur. Namun, jangan membayangkan nasi seperti yang ada sekarang. Beras itu serupa bulgur. Biasa untuk pakan ternak. Lauknya satu sendok kepala ikan asin yang dihaluskan. Ada juga sayur. Biasanya kangkung. Cara memasaknya dengan drum besi yang dipotong setengah. Dalam penampungan pengungsi, orang dilarang jual kue. Banyak anak menangis minta kue. Orang tua tidak bisa membelikan anaknya, karena tidak ada uang. Penjual kue diminta pergi. Banyak pengungsi meninggal selama di penampungan. Mereka meninggal karena kelaparan dan berbagai penyakit. Daerah di sekitar Kuala airnya asin. Banyak pengungsi terkena penyakit diare, muntaber dan lainnya. Hanya ada sedikit obat-obatan. “Tiap hari ada yang meninggal. Ada sekitar 4-5 orang,” kata Asmawi. Mereka yang mati dibawa dengan kereta dorong beroda tiga. Roda kereta ada dua di depan dan satu di belakang. Alat ini biasa digunakan membawa barang. Mereka yang meninggal dimakamkan secara berderet dalam makam. Lebar makam sekitar 75 cm dengan tinggi satu meter. Satu lubang makam untuk 4-5 orang. Banyak juga anak kecil tak terurus dan dimakamkan dekat Rumah Sakit Umum Singkawang. Rumah sakit itu sekarang milik Yayasan Kristen Santo Vincencius. Anak yang meninggal, sangking kurusnya, ada cacing keluar dari dalam lubang hidungnya. “Mungkin, sangking tak ada makanan lagi dalam perut anak yang meninggal,” kata Om Jo, aku biasa memanggilnya. Ketika terjadi pengungsian, banyak perempuan tua Dayak ikut mengungsi. Mereka kawin dengan orang Tionghoa. Asimilasi Tionghoa dan Dayak, hampir terjadi di semua tempat. Mereka biasa disebut, Mebuyan Kamaluk (Famili) Bekatik. Karena percampuran darah. Kalau tidak ikut mengungsi, siapa yang bakal rawat cucu-cucu mereka. “Banyak orang meninggal karena muntaber. Makanan tak sehat, dan kesehatan buruk. Pokoknya terserah nasib,” kata Tomidi. Meski kondisi seperti itu, ada juga orang memanfaatkan dan mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri. Ada bantuan dari PBB bagi para pengungsi. Makanan dan pakaian, banyak yang tersalurkan. Namun, obat-obatan, jarang yang sampai. Yayasan Tionghoa membangun berbagai pondok untuk menampung pengungsi. Juga disediakan kuburan bagi yang meninggal. Salah satunya di pekuburan Manggis. Dinamakan pekuburan Manggis, karena banyak pohon manggis di sana. Bahkan, ada pohon manggis tertua. Usianya sekitar 100 tahun. Pekuburan Manggis dinamakan Taman Batas Dunia dan Akherat. Ada sekitar 1.000 orang dikuburkan di sana. Para pengungsi dikuburkan di Manggis, karena pekuburan ini tidak dipungut biaya. Tukang kubur bernama Sio Po Kie. Dia sudah meninggal sekarang. Ia berprofesi sebagai tukang angkut barang dan becak. Yayasan membayar Sio Po Kie. Selama berada di penampungan, pengungsi melakukan kerja apa saja, untuk menyambung hidup. Ada yang berjualan. Menjadi kuli angkut barang. Cari kayu bakar, dan lainnya. Akibat peristiwa ini, menimbulkan rentetan peristiwa kemanusiaan lainnya. Banyak orang jadi pengemis. Banyak anak kecil ditinggal semasa di perjalanan atau dititipkan pada orang lain. Orang tua tak sanggup merawatnya. Bagi mereka yang dianggap sudah dewasa, akan langsung dinikahkan. Pascaperistiwa ini, banyak perempuan Singkawang menikah dengan lelaki Taiwan. Inilah era yang menandai munculnya Pengantin Pesanan, dan berlangsung hingga sekarang. Semasa di penampungan, bagi mereka yang mau menetap, dipersilakan saja. Tapi kalau mau pergi dari penampungan, juga tidak dilarang. Setelah tak ada harapan hidup di penampungan, mereka sedikit demi sedikit meninggalkan penampungan. Pergi ke berbagai tempat di Pontianak, Jakarta, Malaysia, Hongkong, Tiongkok dan lainnya. Kalau ada saudara, mereka pergi dan menumpang dulu di rumah saudara. Setelah sekian lama, para pengungsi yang sudah meninggalkan penampungan dan bekerja, juga mengajak teman yang masih berada di pengungsian. Pengungsi tinggal di penampungan 2-3 tahun. Makin berkurangnya pengungsi di penampungan, seiring dengan pembangunan dan masuknya investor ke Indonesia. Banyak pengungsi masuk di lapangan kerja. Lalu, bagaimana kondisi para pengungsi sekarang? “Bekas pengungsi sekarang, sudah banyak yang kaya. Mereka malu kalau ketemu kita dan pura-pura tidak kenal. Dikiranya kita mau minta kalau menegurnya. Malas juga lah,” kata Asmawi. Padahal, dia biasa memberi makan para pengungsi. Mereka sekarang lupa. Namun, bukan berarti dia ingin mengungkit-ungkit. Dia berharap, peristiwa itu tak terjadi lagi. “Kita sudah susahlah dengan peristiwa ini,” kata Asmawi. Selesai berbincang, aku meninggalkan rumah kecil di pinggiran bekas gudang karet itu. Ketika gudang karet itu telah lama ditinggalkan para penghuninya, Asmawi masih dengan setia tinggal di sana. Tutur kata dan sikapnya yang bersahaja, membuatku menitipkan sesuatu untuk kebutuhannya. “Semoga Tuhan membalas segala kebaikan yang pernah Bapak lakukan,” kataku dalam hati. Mengungsi ke Negara Tetangga Peristiwa pembersihan terhadap etnis Tionghoa, tak hanya terjadi di pedalaman Kalbar, juga terjadi di Kota Singkawang. Pada awal-awal peristiwa, penduduk yang berada di dalam kota, merasakan betul situasi itu. Akibat berbagai intimidasi dan situasi tak menentu, membuat mereka juga mengungsi. Peristiwa itu dialami Bong Bu Tjin, 70 Tahun. Aku menemuinya di Kuching, Sarawak, Malaysia. Dalam usianya yang telah senja, Bong masih terlihat gagah. Cara berjalannya cepat dengan langkah-langkah lebar. Bahasa Indonesianya agak patah-patah. Dia sudah 40 tahun di Malaysia. Namun, tak bisa kemana-mana, selain di Kuching. Bong mengemudikan mobilnya sendiri. Kemanapun. Ketika aku tanya tentang fisiknya yang masih sehat hingga usia tua, Bong menjawab dengan yakin, “Biasa bekerja dari muda. Itulah resepnya.” Bong Bu Tjin kelahiran Singkawang, 1938. Sejak 1960, ia sudah memiliki foto studio di Jalan Pasar Tengah, Singkawang. Dari usaha studio itulah, dia sering diminta tentara mengabadikan berbagai momen penting. Bong sering diminta menjadi fotografer. Dia pernah ikut tentara melakukan operasi militer. Keluar masuk hutan mengabadikan kegiatan tentara. Tak hanya itu. Dalam berbagai kesempatan, Bong selalu diminta memotret berbagai peristiwa penting. Ketika Jenderal Nasution datang ke Kalbar, untuk menandatangani prasasti di Taman Makam Pahlawan di Singkawang, Bong jadi fotografernya. Begitu juga ketika Jenderal Ahmad Yani berkunjung ke Kalbar, seminggu menjelang peristiwa G30SPKI. Atau, saat Mayjen Suharto ke Kalbar. Bong mengabadikan peristiwa itu. Tak heran, berbagai isu dan peristiwa penting, dia ketahui. Bong Bu Tjin pernah foto bareng dengan Mayjen Suharto. Karena itulah, ketika berada di Malaysia, dia dibilang orang Suharto. Menurutnya, zaman Sukarno, RI paling bagus. Antara orang Tionghoa, Dayak dan Melayu, satu adik. Zaman Suharto semua diadu. Semua nama dan huruf Tionghoa dilarang. Peraturan itu diterapkan dan diawasi para serdadu. Waktu itu, setiap malam, para serdadu selalu jalan mengelilingi perkampungan. Maklum, Singkawang jadi basis penumpasan PGRS-PARAKU. Tentara juga memberdayakan masyarakat menjadi Hansip. Semua orang yang pakai baju hijau, bisa menangkap orang. Ketika ada yang ketahuan bicara dengan bahasa Tionghoa, orang akan kena hukuman. Orang itu akan disuruh makan pasir. Kecuali, ada uang untuk menyogok para serdadu ini. Karenanya, saat itu banyak orang makan uang suap. Sebagai basis dari operasi yang dilakukan, Singkawang dipenuhi para prajurit. Perdagangan jadi macet. Ada toko atau warung, menjadi tumpuan bagi sebagian serdadu, untuk memenuhi segala kebutuhannya. Mereka minta barang kebutuhan sehari-hari. Bila penjual menanyakan pembayaran, para serdadu itu menyorongkan senjata sambil berkata, “Ini senjata.” Hal itu membuat para pedagang bangkrut. Bahkan, ada hotel digunakan menginap satu kesatuan elit tentara. Sepuluh kamar hotel dipakai, hingga sembilan tahun lamanya. Menurutnya, pengusiran pertama kali dilakukan di Sanggau Ledo. Di Singkawang, sebelum pengusiran dilakukan, dibuat tanda dari tempayan berisi beras dan bendera. Tempayan ditaruh di satu tempat. Bila ada orang di tempat itu tidak pergi dari tempayan yang diletakkan, dan melanggar batas waktu yang ditentukan, mereka bisa dipotong lehernya. Karena itulah, banyak orang mengungsi dan menghindar. Para serdadu juga melepas seragam dan mengikat kepalanya dengan kain merah. Mereka berada di antara barisan para demontran. Ketika Singkawang terjadi ribut-ribut, semua mengungsi dari Singkawang. “Semua kalang kabut. Semua diusir dari Kota Singkawang. Rumah-rumah orang Tionghoa diambil,” kata Bong. Hidup di Singkawang susah. Banyak orang minta-minta. Tak ada makanan. Akhirnya, banyak juga yang kabur ke hutan. “Mati-matilah. Sakit-sakitlah. Tak ada obat,” kata Bong Bu Tjin. Pada masa pengungsian di Singkawang, pemerintah Republik Rakyat Tionghoa (RRC) mengirimkan kapal, untuk membawa para pengungsi yang ingin pindah ke RRC. Ada dua kapal dikirim. Thai Po Kong dan Chang Cun. Setiap kapal bisa memuat 3.000 orang. Yang diutamakan dalam pengangkutan, orang tua dan orang cacat. Orang muda mendapat giliran terakhir, karena dianggap bisa menjaga diri dan cari makan sendiri. Setelah kapal membawa para pengungsi, pemerintah Indonesia tak membolehkan pemerintah RRC mengangkut para pengungsi. Indonesia memutuskan hubungan dengan RRC. Setelah itu, semua orang Tionghoa di Indonesia, diminta mengganti nama dan masuk menjadi warga negara RI. Semua sekolah Tionghoa ditutup. Anak-anak Tionghoa tak bisa sekolah. Guru sekolah Tionghoa banyak ditangkap. Akhirnya, orang tidak bisa sekolah dan harus mencari hidup. Melihat kondisi tidak menentu, Bong meninggalkan Singkawang, bersama 34 orang. Yang terdiri dari 5 keluarga. Ia membawa istri dan lima anaknya. Anak paling besar berusia tujuh tahun, paling kecil baru tiga puluh hari. Lewat pelabuhan Kuala, dia meninggalkan Singkawang. Dengan kapal barang kayu berukuran kecil, rombongan itu menuju Sematan, Malaysia. Pemilik kapal juga ikut mengungsi dan membawa keluarga. Mereka tidak dipungut biaya. Selama tiga hari dua malam, mereka mengarungi lautan menuju jalan pembebasan. Tak ada bekal dibawa. Hanya celana dan baju yang menempel di badan. Selama perjalanan, hanya ada sedikit roti dan air. Persediaan itu bagi kanak yang ikut mengungsi. Orang tua harus menahan diri, tidak makan apa pun, selama perjalanan. Ketika mengungsi, dia bawa semua foto yang pernah dipotret dan dicetaknya. Foto tersebut hasil kerja selama beberapa tahun, ikut dalam berbagai operasi yang tentara lakukan. Foto Jenderal Ahmad Yani, Nasution dan Suharto, juga dimilikinya. Sesampai di Sematan, rombongan pengungsi ditahan petugas Diraja Malaysia. Mereka ditempatkan dalam suatu camp oleh pemerintah Malaysia. Semua foto diambil dan dibakar polisi Malaysia. Ketika berada di pengungsian, pemerintah Malaysia melarang wartawan bertemu dengan Bong. Pemerintah takut dia bicara dan membuka rahasia. “Tidak boleh diungkit masa lalu. Sekarang Malaysia sudah baik dengan Indonesia,” kata Bong, menirukan ucapan polisi Malaysia. Mereka tinggal di camp selama tiga tahun. Yayasan Tionghoa dan perorangan di Malaysia, menanggung kehidupan para pengungsi. Setiap hari, mereka mendapat bantuan uang 50 sen. Setelah tiga tahun di penampungan, ada datuk Lim Peng Sun menjadi pejabat di Sarawak. Dia menjamin para pengungsi dari Indonesia, untuk keluar dari camp. Setelah itu, Lim memberi pekerjaan para bekas pengungsi dengan bekerja di kebunnya. Lim punya 130 hektar kebun. Di kebun ini didirikan lima rumah, bagi lima keluarga tersebut. Satu bulan mereka mendapat bantuan 270 ringgit. Selain itu, mereka juga berkebun dan menanam berbagai sayuran. Namun, karena tanah tidak subur, sayuran pun kurang bagus. “Tanah tak bagus. Mau beli pupuk uang tak cukup. Tidak ada pupuk, mana bisa bagus itu sayur,” kata Bong. Mereka diberi bantuan selama tiga bulan. Setelah itu, harus bisa mencari kerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Setelah tiga bulan, ia mulai mencari kerja. Bong Bu Tjin kerja apa saja. Dia menjadi buruh bangunan. Bongkar muat barang. Jualan kecil-kecilan. Pokoknya semua kerja dijalani. Pekerjaan itu dijalani hingga 10 tahun. Selama di Malaysia, ia tidak bisa pergi kemanapun, karena tidak ada surat. Anak tak dapat sekolah. Kalau anak tak sekolah, mau jadi apa? Meski sudah mendapat jaminan, Bong hanya boleh tinggal di Kuching. Lewat dari daerah itu, dia bisa ditangkap. Dia juga tidak bisa membeli rumah, tanah atau lainnya. Setiap tahun, dia harus memperpanjang izin tinggal di Sarawak. Untuk keperluan itu, dia harus mengeluarkan 90 ringgit per orang. Jadi, bila sepasang suami istri dan lima anak, kalikan saja, berapa dia harus membayar izin tinggal tiap tahunnya. Dari salah seorang petugas imigrasi Malaysia, Bong pernah mendapat informasi, ada sekitar 20 ribu orang masih mendaftar ulang ke pemerintah Sarawak, tiap tahunnya. Setelah anaknya paling besar kawin dengan warga Malaysia, ada sedikit rasa lega. Mereka mulai bisa membeli rumah. Tentu saja atas nama menantunya. Kini, dengan adanya perubahan dan keluarnya UU Kewarganegaraan yang baru, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006, orang seperti Bong Bu Tjin mendapat kesempatan memperoleh kewarganegaraannya lagi. Dia sudah mengajukan diri dan mengurusnya. Didik Zulhadji, Third Secretary/Vice Consul, Consulate General of the Republic of Indonesia di Kuching, pernah beberapa kali wawancara dengan Bong Bu Tjin, dalam rangka memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia. “Orang yang pindah karena peristiwa 1965 atau 1967, tidak hanya di Kuching, tapi di daerah lain juga ada. Di Sarawak mereka pindah, karena faktor menghindari peristiwa dan bukan karena faktor ideologis,” kata Didik. Sekarang ini dengan UU Kewarganegaraan yang baru, orang bisa memperoleh lagi kewarganegaraannya. Masih banyak dari mereka yang ingin memperoleh kewarganegaraannya. Mereka masih mengindentifikasi diri sebagai warga negara RI. Tidak hanya masalah suku dan etnis saja. Mereka sadar, bahwa merasa bagian dari warga negara RI. Untuk generasi muda, mungkin mereka tidak terlalu kentara, karena generasi muda lebih mudah, dapat identifikasi sebagai warga negara. “Kita melihat bahwa mereka memang sadar, dan ada kesadaran bahwa mereka punya identitas kebangsaan sebagai warga negara Indonesia,” kata Didik. Padahal di Malaysia banyak etnis Tionghoa, dan mereka tidak sulit menyesuaikan diri. Ini menunjukkan, kesadaran politik lebih daripada warga di Sarawak. Menurut Didik, orang seperti Bong Bu Tjin punya pandangan ideologis, bahwa para pemimpin mereka ada di RI. Identitas mereka masih hidup. Ini masalah dokumentasi tidak terwujudkan. Identitas harus dijaga secara dokumentasi. “Masalah identitas, saya percaya sekali beliau bisa menjelaskan. Dan sedikit banyak mengikuti perkembangan yang ada di RI. Mereka jelas mengidentifikasi diri. Apa yang dikemukakan Didik, memang cukup berasalasan. Selama berbincang dengan Bong Bu Tjin, dia selalu mengerti dan memantau perkembangan dan isu aktual di Indonesia. Berita itu diaksesnya melalui layar televisi dan koran. Dari beberapa kali percakapan yang kami lakukan, aku bisa merasakan keindonesiaannya. Dia sangat merindukan Indonesia. Dia ingin kembali ke Indonesia. Dia ingin........Meninggal dan dikubur di Indonesia. Diselamatkan, Dipelihara, dan Diperistri Dia biasa dipanggil Lilis. Nama sebenarnya, Cin Tiam Moy, 56 tahun. Lilis kelahiran Sempalai, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas. Kehidupan yang rigid dan keras menempa hidupnya. Warna kulitnya tak lagi putih dan bersih. Sinar matahari melengaskan warna kulitnya. Saban hari ia bertani dan menanam padi. Ia juga bercocok tanaman budi daya. Di kebun belakang rumahnya, Lilis menanam pisang, ketela, dan tanaman pangan lainnya. Pekerjaan itu dilakukannya bersama sang suami, Gubang. Lilis juga membuka kedai kopi di terminal Bengkayang. Kedai itu lebih banyak ditunggu dan dijaga sang anak. Gubang lelaki penuh perhatian dan bertanggung jawab. Posturnya kecil. Dia berasal dari etnis Dayak Bekatik di Bangkayang. Lilis dan Gubang tinggal di Lumar, Bengkayang. Keberadaan Lilis di Lumar, punya kisah dan sejarah tersendiri. Lilis anak paling besar dari lima bersaudara. Tiga perempuan dan dua lelaki. Mereka tinggal bersama dua orang tuanya di Sempalai. Ayahnya bernama Cin Hin Lung. Ibunya bernama Cang Moi Kie. Dua orang tua, dua anak lelaki dan tiga anak perempuan. Lilis baru berusia 11 tahun. Adik lelakinya berumur sekitar sembilan dan delapan tahun. Adik Ce Tu, tujuh tahun. Adik ketiga, Ce Moy berusia lima tahun. Jarak satu rumah dengan lainnya berjauhan. Terpisah oleh kebun. Tempat tinggalnya menjorong ke dalam dan jauh dari jalan raya utama. Mereka hidup dari bercocok tanam. Keluarga itu tak tahu, bakal ada demonstrasi. Rumah mereka berjauhan dengan para tetangga. Menjelang terjadinya peristiwa, tetangga mereka di sekitar jalan raya Tebas, sudah mengungsi ke Sambas. Kampung itu telah sepi. Ditinggalkan penghuninya. Keluarga ini berangkat dengan jalan kaki menuju pasar Tebas. Di pasar ini, banyak komunitas etnis Tionghoa berdiam. Mereka hidup dari perniagaan. Ketika orang Tionghoa akan diusir, ada juga yang hendak melawan. Mereka membuat berbagai perangkap, pelantik. Kalau tidak bisa melawan, mereka akan lari ke hutan. Mereka berangkat tujuh orang menuju pasar Tebas. Sebelum mencapai pasar Tebas, mereka ketemu rombongan demonstrasi di jalan raya menuju pasar Tebas. Para demonstran berjumlah sekitar 800 orang. Mereka berasal dari Lumar dan sekitarnya. Keluarga itu terkepung. Lilis dan dua adik perempuannya diberi selendang kain merah di lehernya. Ini sebagai tanda, mereka dilindungi dan tidak boleh diganggu. Orang tua dan dua saudara lelakinya ditangkap. Mereka dibawa ke pinggir sungai Perasa, Tebas. Di pinggiran sungai inilah, keempatnya dieksekusi. Lilis tahu cerita itu dari para saksi mata. Setelah itu, rombongan demonstrasi melanjutkan perjalanan. Jarak Sempalai ke pasar Tebas sekitar 5 kilometer. Lilis dan dua adiknya dititipkan di perkampungan terdekat. Rombongan demonstrasi melanjutkan penyerangan ke pasar Tebas. Rencana penyerangan sekitar jam lima pagi. Namun, sekitar jam empat pagi, jalanan menuju pasar Tebas telah dipenuhi ratusan tentara bersenjata lengkap. “Karena tak mau mundur, tentara mengeluarkan tembakan peringatan ke udara. Ketika demonstran masih berusaha maju, tembakan diarahkan ke tanah,” kata Gubang, 54 tahun, warga Lumar yang ikut demonstrasi. Sehari berikutnya, rombongan demonstran kembali ke Bengkayang. Lilis dan dua adik perempuannya dijemput. Mereka dibawa ke Lumar, Bengkayang. Dalam demonstrasi itu, tentara menahan orang yang dianggap pimpinan demonstrasi. Namanya Petrus Kate. Pemerintah menangkap dan menghukumnya selama 12 bulan. Ketika ditanya tentara, siapa bertindak sebagai kepala, dia mengacungkan tangan. Penahanan ini, ibaratnya supaya ada yang dianggap bertanggung jawab. “Di penjara kongsi Sambas, Petrus kate malah mendapat gaji dan badannya gemuk,” kata Gubang. Sekembali di Bengkayang, Lilis dan dua adiknya tinggal di kampung Molo. Dia tinggal di rumah Tundur. Yang juga punya dua anak. Tundur punya dua adik, Sendok dan Gubang. Keduanya masih bujangan. Setelah tinggal di Molo, Lilis juga membantu tugas tentara membawa beras. Ketika itu usianya 12 tahun. Dia juga dijadikan penerjemah, kalau tentara ketemu orang Tionghoa di jalan. Dia pernah diajak ke San Sak, Subah, Sanggai Ledo, sebagai penerjemah tentara Siliwangi 310. Lilis pernah diminta tinggal di San Sak selama dua bulan, sebagai tenaga di kantor tentara. Setelah itu tinggal lagi di Molo. Ketika ditangkap, Lilis dibesarkan dulu. Karena ketika mau dikawini, umurnya belum cukup. Setelah berumur 15 tahun, dia dikawini Sendok. Ketika ketemu di rumahnya, aku ingin tahu psikologi dari Lilis, ketika memutuskan kawin dengan Sendok. “Kenapa mau kawin dengan Sendok?” “Karena sebatang kara, tidak ada orang lain.” “Tidak takut?” “Tidaklah. Orang kampung yang tolong kita. Kalau tidak, kita akan mati. Kita tidak punya kampung lagi.” “Tidak dendam pada orang-orang yang pernah membunuh keluarga Anda?” “Tidaklah. Banyak pelaku sudah mati. Malah ada yang gila. Contohnya Ijil,” kata Lilis. Ijil adalah salah satu pemimpin demonstrasi dari Bengkayang. Yang memimpin demonstrasi ke Tebas, Sambas. Selain Ijil, ada Karoyot dan Sakandung. Dua orang ini sudah meninggal. Lilis sering ditanya orang, apakah masih punya orang tua. Dia biasanya menjawab, orang tuanya dibunuh. Dia diambil orang Dayak dan tinggal di kampung. Selama hidup di kampung, dia menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Bercocok tanam dan berkebun. Sendok meninggal usia muda. Perkawinannya dengan Lilis, dikaruniai satu anak. Gubang merasa bertanggung jawab dan menyelamatkan Lilis yang sebatang kara. Dia mengawini Lilis. “Kalau Lilis bersuami, tidak akan diganggu tentara,” kata Gubang. Saat menikah, Gubang berusia 19 tahun. Lilis berusia 21 tahun. Dari perkawinan itu, lahir lima anak. Dua lelaki dan tiga perempuan. Dulu, Lilis sembahyang di Pekong. Sekarang tidak lagi. Ia memeluk agama Katolik, dan sembahyang di gereja. Semasa masih punya anak satu, Lilis tidak pernah pergi ke mana pun. Setelah punya dua anak, dia mulai mencari keluarganya ke Tebas. Lilis berangkat bareng Gubang. Di Tebas dia mendapat kabar, orang tuanya memang sudah terbunuh. Dia juga ketemu adik perempuan bapaknya. Juga beberapa keluarganya yang selamat. Sekarang ini tinggal di Singkawang. Lilis merasa beruntung kawin dengan Gubang. Dia menganggap, Gubang sangat bertanggung jawab. Sekarang ini, lima anak-anak mereka tak tahu, tentang peristiwa yang terjadi. Namun, pernah juga ada anak yang bertanya. “Mengapa orang Dayak dan Tionghoa berperang? Atau, mereka adalah orang Tionghoa, kenapa lalu masuk dan menjadi orang Dayak?” Keduanya berusaha memberikan jawaban yang bisa diterima sang anak. Bapak orang kampung, ibu orang Tionghoa. Karena tinggal di kampung, ya, mereka tinggal dengan orang kampung. Belum ada niat menceritakan permasalahan yang terjadi. “Kalau mereka tahu, kuatir sedih. Sengaja tidak dikasih tahu,” kata Gubang. Generasi yang Hilang Bagaimana rasanya hidup tanpa tahu asal dan usul kita? Bagaimana rasanya hidup tanpa sosok dan figur orang tua? Padahal, awal dari kehidupan seorang anak adalah, meniru dan mengamati orang paling dekat dalam hidupnya: orang tua. Bagaimana rasanya berada dalam satu lingkungan yang dianggap beda secara fisik? Aku menemukan jawaban itu, pada diri Moy Tang, 41 tahun. Moy Tang punya tiga anak. Yang paling besar kuliah di Yogyakarta. Suaminya PNS, penyuluh pertanian pada Dinas Pertanian Kabupaten Bengkayang. Namanya, Gaduh. Dia orang Dayak Bekatik. Gaduh baru saja menyelesaikan kuliah S2-nya. Dia membuka toko pupuk tanaman dan berbagai obat-obatan pertanian. Moy Tang yang mengelola dan menjaga toko itu. Moy Tang bertubuh sedang. Kulitnya putih bersih. Ia mengenakan kaca mata. Di balik kaca mata itu, sepasang mata sipitnya terlihat dengan jelas. Sorot mata itu sendu. Meski selalu tersenyum ketika berbicara, aku merasakan, ada satu keterasingan pada dirinya. Pada sebuah sejarah dan asal usulnya. Siang itu, aku menemuinya di toko pupuk dekat jembatan pasar Bengkayang. Dia sedang mengatur anak buahnya, mengangkut beberapa sak pupuk untuk dibawa ke mobil pengangkut. Moy Tang anak asuh Lengken. Lengken beberapa kali mengganti nama Moy Tang. Ketika kecil, dia sering sakit, sehingga namanya diganti. Nama Moy diambil dari nama Amoy. Sebutan bagi perempuan Tionghoa. Tang, memudahkan untuk dipanggil saja. Moy Tang. Sejarah keberadaan Moy Tang, aku dengar dari Lengken. Sulit untuk membujuknya bercerita. Setelah diberi berbagai penjelasan tentang arti dan pentingnya cerita itu, bagi generasi sekarang, dia mau bercerita. Lengken khawatir, cerita itu bakal membuat Moy Tang sedih. Ya, begitulah sikap sayang pada anak asuhnya. Lengken punya 10 anak. Namun, yang masih hidup ada empat orang. Lengken ikut membantu tentara. Mengangkut berbagai perbekalan, beras senjata dan lainnya. Dalam suatu perjalanan dari Bengkayang ke Samalantan, rombongannya ketemu bayi berusia sekitar satu tahun. Hari menjelang sore. Di hutan yang termasuk wilayah Maya Sopa, rombongan terhenti. Ada sesuatu di jalan. Merasa ada yang janggal di hutan, rombongan itu saling bertanya. “Itu anak rusa mungkin?” “Itu bukan anak rusa. Itu anak manusia.” Setelah didekati, ternyata anak manusia. Melihat ada anak manusia di hutan, mereka mulai saling silang pendapat. Ada yang minta anak itu dibunuh. Namun, Lengken tidak mengizinkan. Dia malah ingin membawa anak itu ke rumahnya. “Jangan piara anak Tionghoa. Apalagi kamu masih bujang,” kata teman yang lain. Ada anggapan, orang bujangan mengambil anak, akan sulit dapat jodoh. Logika sederhananya, orang tentu akan pikir-pikir, kawin dengan orang sudah pernah menikah, atau punya anak. Lengken membawa anak itu pulang. Lehernya sempat ditempeli Mandau oleh temannya. Hendak dibunuh. Dia bersikeras membawa anak itu. Sampai di Dusun Molo, Moy Tang dititipkan pada keluarga Alex, saudara Lengken. Setelah Lengken berkeluarga dan Alex meninggal, Moy Tang dibawa ke rumahnya. Lengken tidak membedakan anak sendiri dengan anak angkat. Dia mengurus Moy Tang dengan baik. Sangking sayangnya pada Moy Tang, dia tidak ingin menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi. Khawatir kalau nanti tahu kondisi sebenarnya, Moy Tang akan pergi dari rumahnya. Dan, tak mengakui dia sebagai orang tua angkat. Ketika kecil, Moy Tang sering diolok teman sepermainan. “Eh, kau tuh anak Tionghoa. Mana gak orang mau berkawan.” Moy Tang tegar mendengar olokan dari temannya. Ketika berumur enam tahun, dia mulai tahu, bahwa dirinya bukan anak kandung dari Lengken. Akhirnya, dia tanya pada Lengken. “Orang tua ada di mana? Diejek terus oleh teman main. Disebut sebagai Tionghoa sesat,” kata Moy Tang. “Itukan olok-olokan dari teman saja. Kamu tidak boleh sedih dengarnya,” kata Lengken. Pendidikan formal masih jarang. Sekolah belum ada. Kalaupun ada, jauh dari kampung tersebut. Sekolah non formal dilakukan dengan memanggil guru, dan mengajar mereka sekolah di ladang. Belajar hitung dan membaca. Bayarnya dengan bekerja di ladang atau mengambil rumput. Gurunya bernama Safin. Kelas satu umur 15 tahun. Lucunya, karena sudah pada remaja, gurunya pun ada “rasa” dengan sang murid. Beranjak dewasa, Moy Tang mencari orang tuanya ke Singkawang dan Pontianak. Lengken menyusul dan memintanya pulang. Moy Tang pernah empat kali ke Singkawang mencari orang tuanya. Dia terus berdo’a, supaya mendapatkan jodoh orang baik. Dan, doanya terkabul. Sekarang ini, dia suaminya baik sekali. Bersama sang suami, dia juga mencari informasi tentang keberadaan orang tua kandungnya. Dia berharap, orang tuanya masih hidup. Pernah ada orang di Singkawang datang menemui dan bertanya, marganya apa. Tentu saja dia tidak bisa menjawab. Orang itu juga tahu, nama orang tua yang mengangkatnya. Anak Moy Tang yang beranjak dewasa juga menanyakan keberadaan keluarganya. “Manalah betul, kakek dan nenek kita nih? Nenek dan kakek di mana?” “Nenek di kampunglah.” “Nenek kok hitam.” “Om itu hitam, mama putih.” Apa yang paling dirasakan dan membuatnya sedih, tatkala orang merayakan Natal atau keluarga sedang berkumpul. Dia merasa sedih, karena tak bisa kumpul dengan keluarga biologisnya. Moy Tang pernah sakit, hingga dua bulan tidak bisa bangun dari tempat tidur. Suami dan anak paling besar, merawatnya dengan telaten. Ia merasa sedih, karena sering marah pada keluarganya. Penyakit darah tinggi membuatnya sering marah. Sudah dua tahun ini, hidupnya tergantung dengan obat. Beruntung, sang suami bisa memahami kondisinya. Ketika sedang sakit-sakitan, dia ingin mendapatkan kesembuhan. Suatu hari, dia pernah bermimpi, ketemu dengan orang tua yang menyarankan, untuk sembahyang di Pekong. Kemudian, dia bertanya dengan baik-baik pada sang suami. Suami setuju, dia sembahyang di Pekong, kalau memang hal itu bisa membawa perubahan dan menentramkan. Kemudian, Moy Tang mulai bertanya pada temannya, orang Tionghoa. Bagaimana tata cara sembahyang di Pekong. Sekarang ini, dia hanya ingin menyekolahkan anak-anaknya. Yang paling besar sudah kuliah di Yogyakarta. Moy Tang sering mengantarkan anaknya ke Pontianak. Ada pengalaman lucu, ketika mereka makan dan minum di sebuah kedai di Singkawang. Sang pemilik kedai berbicara dengan bahasa Tionghoa. Namun, Moy Tang tak bisa menjawabnya. Si pemilik kedai heran. “Orang Tionghoa kok tak bisa bahasa Tionghoa?” “Saya hidupnya dengan orang Dayak Bekatik,” jawab Moy Tang. Moy Tang berbahasa Dayak Bekatik dalam kesehariannya. Saat aku bertanya, hal apa yang paling istimewa dalam hidupnya sampai sekarang? Moy Tang merasa belum ada yang istimewa dalam hidup. “Kalau saya remaja dulu, hal istimewa adalah, dapat suami dan keluarga yang baik. Sekarang ini, ketemu keluarga, mungkin hal yang paling istimewa dalam hidup,” kata Moy Tang. Moy Tang masih menyimpan asa, tentang keluarga kandungnya. Sebelum meninggal, dia ingin bertemu kedua orang tua, adik atau kakak, kalau memang mereka masih hidup. Dia mendengar dari orang kampung, keluarganya masih hidup. “Kalaupun mereka meninggal, di mana makamnya,” kata Moy Tang. Aku tak kuasa lagi bertanya atau memandangnya. Matanya sembab dan berkaca-kaca. Dari sudut matanya, bulir air mata mulai menetes. Aku terbawa suasana. Terbayang wajah gadis kecilku yang baru berumur satu tahun, Cori Nariswari Mernissi. Aku membatin, “Nak, ayah, akan menjagamu dengan sebaik-baiknya.”(bersambung)□ Tapol Dia terlihat menjaga jarak, ketika kami duduk satu meja di ruang tamu. Ruangan itu terlihat sederhana. Hanya ada beberapa kursi plastik. Sebuah bingkai foto Bung Karno, terpasang rapi di tembok. Suasana menjadi cair, beberapa menit kemudian. Dia sangat berhati-hati bicara. Pengalaman masa lalu, menorehkan trauma. Namanya A Ming. Wajahnya tirus dan tegas. Ada karakter. Guratan dan kerutan waktu menanda pada kulitnya. Sebuah kaca mata nangkring di hidungnya. A Ming mantan tahanan politik (tapol). Dia dianggap anggota PGRS, dan pernah dipenjara 10 tahun. Tak ada pengadilan resmi bagi dirinya. A Ming tinggal di Singkawang. Dia termasuk intelektual. Ia fasih berbahasa Indonesia, sejak muda. Artinya, dia mengenyam pendidikan sekolah pada usia muda. Di Singkawang, orang seusianya jarang fasih berbahasa Indonesia. Kalaupun bisa, baru sekarang-sekarang ini. Dia mengikuti perkembangan dan berita terkini. Saat berbicara tentang Sukarno, dia terlihat antusias sekali. Matanya berbinar. Kami berbincang beberapa topik. Ketika berbincang mengenai konfrontasi Indonesia dan Malaysia, dia memberikan argumentasinya. Menurutnya, peristiwa itu terjadi, karena Presiden Sukarno berusaha membendung bahaya neo kolonialisme (Nekolim) atau penjajahan gaya baru. Yang dipelopori negara-negara Barat. Seperti, Amerika, Inggris, dan lainnya. Karenanya, Bung Karno berafiliasi ke negara-negara komunis. Maka, dibentuk poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Beijing. A Ming lahir dan besar di Sebaluan, Kecamatan Selakau, Kabupaten Sambas. Sebaluan merupakan hulu Sungai Selakau. Di perkampungan itu, ada sekitar 1.000 orang Tionghoa. Di sana juga ada orang Dayak. Mereka hidup berdampingan dan rukun. Sebaluan sering dilewati rombongan gerilyawan PGRS. Penduduk tak bisa melarang. Mereka juga tidak menganggu penduduk. Di daerah ini, PGRS melakukan infiltrasi. Mereka membaur dengan penduduk yang sebagian besar orang Tionghoa. Ketika itu, ada Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak juga pengikutnya. Siapa saja anggota PGRS yang masuk ke Indonesia, akan bergabung dengan PKI. Ketika gejolak sedang terjadi, A Ming berusia 20 tahun. Dia diajak Lo Pan, biasa dipanggil Kakak ketiga. Kakak Pertama adalah Sofyan. Sebaluan termasuk daerah yang didatangi massa demonstrasi. Rombongan orang Dayak memakai ikat kain merah di kepala. Mereka membawa mandau dan senapan lantak. “Waktu pengusiran, orang-orang PKI mengajak warga kampung untuk ikut bersama PGRS ke hutan,” kata A Ming. Hutan tak jauh dari kampung itu. Namun, banyak juga warga memilih mengungsi ke Sambas. Jarak Sambas dan Sebaluan sekitar 70 km. Mereka yang mengungsi ke hutan beranggapan, kondisi akan kembali normal selama beberapa minggu. Mereka yakin itu. Zaman Jepang juga seperti itu kondisinya. Ketika Jepang datang, mereka menyingkir ke hutan. Setelah 15 hari, dan kondisi dirasa aman, mereka balik ke kampung lagi. Mereka berpikir, paling banter dua minggu bersembunyi di hutan, setelah itu kembali ke kampung lagi. Ternyata, setelah ditunggu beberapa minggu, mereka tidak bisa kembali lagi ke kampung. A Ming ikut rombongan masuk ke hutan. Dia di hutan selama setahun lebih. Makan apa saja. Banyak juga mendapat makanan dari orang kampung di sekitar hutan. Pada 1968, tentara Kujang 330 melakukan operasi di sekitar Sambas hingga ke Bengkayang. A Ming ditangkap di Sepang, Kecamatan Lumar, Kabupaten Bengkayang. Sepang sekitar 4 jam berjalan kaki dari Sebaluan. Dia ketemu patroli tentara yang melakukan operasi pagar betis dan menyisir semua wilayah tersebut. Ketika tertangkap, kondisinya kurus sekali. Dia ditangkap di hutan bersama seorang temannya. Saat ketemu tentara, dia ditanya. “Kamu anggota PGRS?” “Ya.” Kalau tak mengaku, akan dipukul. Karenanya, dia tak mendapat pukulan. Dari Sepang, dia dibawa ke Sebangkau. Setelah itu dibawa ke Selakau. Dari Selakau, dibawa ke Kodim Singkawang. Ketika itu, Kodim berada di Pasiran, Singkawang. Selesai menjalani interogasi, dia langsung dibawa ke penjara Singkawang. Dari penjara Singkawang, dipindah ke penjara di Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Sekitar empat tahun, dia menjalani penjara di Sungai Raya. Dari sini, terus dipindah ke penjara Ketapang, selama enam tahun. Ketika bertemu dengan Letkol Harsono Subardi, Eks Biro Intel POM Kodam Tanjung Pura, aku bertanya tentang kondisi para Tapol dan kondisi ketika itu. Harsono adalah orang yang menangani para mantan anggota PGRS-PARAKU. Dia bertugas menginterogasi dan mendapatkan berbagai informasi dari para mantan gerilyawan ini. Tugas Harsono, membantu detasemen dari intelijen Kodam. Tugasnya khusus operasi intelijen saja, dan tidak dalam pertempuran. Dari beberapa narasumber tentara yang diwawancara, mereka punya satu persepsi sama tentang PGRS-PARAKU. Para gerilyawan ingin menjadikan Kalbar sebagai satu provinsi RRC. Itu menurut satu dokumen yang ditemukan dari penangkapan anggota PGRS-PARAKU. Dalam rangka mencapai tujuan itu, mereka bersatu dengan PKI Gaya Baru yang dipimpin Sofyan. Ketika tertangkap, anggota PGRS-PARAKU dimasukkan ke camp di Sungai Raya. Jumlahnya ada sekitar 2.000 orang. Diantara yang tertangkap, banyak juga perempuan. Dalam pemeriksaan, dia melarang TNI menyiksa, memukul dan menggunakan alat listrik, untuk memeriksa tawanan. Sebagian tentara ada yang protes. “Mereka ini kan komunis?” “Ada, ndak UU dari pemerintah yang memperbolehkan menyiksa tawanan? Kalau ada, silakan.” Karenanya, Harsono tak memperbolehkan tahanan disiksa. Bahkan, dia pernah diboikot para tentara, supaya tidak melakukan pemeriksaan terhadap tahanan. Ketika pemeriksaan, para tawanan menurut padanya dan tidak melawan. Kalau memeriksa tawanan perempuan, dilarang pada malam hari. Namun, ada juga tawanan perempuan dilecehkan. Ada Kopral CPM dikeluarkan dari dinas militer, karena melecehkan tawanan atau memerkosa. Ada juga tawanan yang dikawini. Contohnya, tawanan perempuan yang menjadi istri Mayor Romli. Sekarang ini, Romli sudah meninggal. Jabatan terakhir sebagai Wakil Asisten Intel (Waasintel) Kodam XII Tanjungpura. Pangkat terakhir Letnan Kolonel. Harsono belajar bahasa Tionghoa Khek, kalau memeriksa tawanan. Kosakata yang umum-umum saja dan biasa dipakai. Misalnya, namanya siapa? Rumah di mana? Umur berapa? Sekarang ikut siapa? Namun, terkadang juga ada penerjemah. Yang menjadi penerjemah, biasanya orang Tionghoa yang sekolah di Yayasan Katolik. Dalam memeriksa tawanan, dia biasa mengajak tawanan bicara sambil minum kopi. Dengan cara lembut dan tanpa kekerasan, para tawanan malah bicara semua tentang PGRS-PARAKU. Siapa saja yang menjadi anggotanya, organisasinya, dan lainnya. Banyak juga anggota PGRS-PARAKU mencoba menyusup ke ABRI. PKI yang dipimpin Sofyan, salah satu tugasnya adalah masuk ke unsur-unsur militer. Ada sebagian tentara yang ikut dan termasuk anggota PKI. Suatu ketika, Harsono jalan-jalan ke Glodok, Jakarta. Dia dipanggil orang-orang Tionghoa di pertokoan itu. “Pak Harsono, sini.” “Maaf, siapa ya?” “Saya kan, orang camp. Mari kita makan bersama.” Ketika ditanya tentang peristiwa itu dengan konstelasi politik yang terjadi, Harsono menjawab tidak tahu. “Sebagai tentara CPM, tugas saya mengawasi disiplin para prajurit,” kata Harsono. Menurutnya, selama mantan gerilyawan PGRS-PARAKU ditahan, pemerintah memperlakukan mereka dengan baik. A Ming, mengemukakan pengalamannya selama di penjara. Dia memang tak selalu di dalam sel. Bahkan, sering bekerja di kebun atau ladang di sekitar penjara. Dari kerjaan itu, dia mendapat bayaran dari tenaga yang dikeluarkan. Menjelang akhir pertemuan, aku penasaran dan bertanya padanya. “Kenapa mau ikut dengan PGRS ke hutan?” “Karena Sukarno baik dengan orang Tionghoa. Tugu Misteri Angin berembus menerbangkan ribuan benang sari. Membawanya pada sebuah perjalanan dan kembara. Pada sebuah putik sari yang beruntung, dia menempelkan dirinya. Menghasilkan penyerbukan dan terjadi pembuahan. Jadilah, sebuah bibit dan generasi baru. Sore itu, angin menjadi penguasa pada sebuah ladang jagung yang menghampar. Hembusannya menggoyangkan dahan jagung. Menjadikannya seperti manusia yang sedang bergerak. Melambai dan meminta orang untuk mendekat. Faktanya, lambaiannya tak dijawab mereka yang melihat. Perladangan itu, tetap saja sepi dan sunyi. Tak berapa lama, langit mulai pekat. Gerimis turun. Alam seolah menjawab dan menyambut, beberapa orang yang datang dan melintas perladangan itu. Inilah, sebuah sore di persawahan dekat Lapangan Udara Singkawang 2, Bengkayang. Persawahan itu termasuk wilayah Lanud Singkawang 2. Dulunya, jalan setapak ini merupakan jalan utama ke wilayah Lanud. Dengan dibangunnya pintu masuk baru yang sudah teraspal, jalan ini tak digunakan lagi. Lama-lama semakin menyempit dan hanya menyisakan jalan setapak saja. Di sawah itu ada dua tugu dari semen. Tugu pertama sudah mulai runtuh. Batu dan koral berserakan di samping tugu utama. Tinggi tugu sekitar dua meter. Lebar satu meter. Ujungnya mengerucut. Tugu kedua masih berdiri dengan kokoh. Jarak kedua tugu sekitar 50 meter. Tugu itu di tengah sawah yang berjarak sekitar 1 km dari jalan raya Sanggau Ledo, Bengkayang. Menurut Durani, 79 tahun, Warga Lumar, jalan raya Bengkayang hingga ke Sanggau Ledo, mulai dibangun pada 1906, oleh Sultan Sambas, Syafiudin. Sebagian besar penduduk di daerah ini, tahu tentang keberadaan monumen itu. Tugu menjadi cerita dari mulut ke mulut, tentang momen dan sebuah peristiwa yang pernah terjadi. Orang menyebut tugu itu, sebagai kuburan PGRS-PARAKU. Di sana pernah ada enam anggota PGRS-PARAKU tertembak dalam pertempuran dengan tentara. Mereka dimakamkan dalam satu lubang. Sebagai penanda, di atasnya didirikan tugu. Ketika berada di tempat itu, seorang anak muda yang menjadi tukang ojek, kebetulan melintasi persawahan. Dalam perbincangan sebentar itu, dia juga mengetahui keberadaan dan asal usul tugu itu. “Oh, kuburan orang-orang PGRS itu, ya. Itu,” katanya, sambil menunjuk tugu warna hitam di tengah persawahan. Melihat tugu hitam itu, ingatan kita langsung dibawa dan tertuju pada, produk budaya zaman prasejarah. Saat kebudayaan Megalitikum atau batu besar, membuat Menhir atau tiang batu didirikan sebagai tanda dan peringatan, bagi arwah nenek moyang dan leluhur. Melihat tugu dan orang-orang yang dimakamkan di sana, mengingatkan aku pada desa-desa kecil di Jawa. Banyak dari kebun atau persawahan menjadi tempat kuburan massal bagi anggota atau simpatisan PKI. Mereka yang dianggap “bermasalah” dibawa setiap malam dengan truk. Setelah itu, tak kembali lagi. Untuk menutup sejarah, daerah itu dikatakan “angker”. Berbahaya bila didatangi. Bisa menimbulkan celaka dan petaka. Itulah cara bangsa kita menutup sejarah. Menyelimuti berbagai peristiwa dan fakta dengan mitos. Sehingga menghilangkan nalar dan kemampuan analisis generasi selanjutnya, pada berbagai realitas yang pernah terjadi. Faktanya, di tanah air yang katanya dihuni Bangsa yang Agung dan Berbudaya ini, jutaan orang dikubur tanpa nisan. Jutaan orang mati dan dikuburkan tanpa prosesi pemakaman. Jutaan orang hilang tak tentu rimbanya. Mereka hilang dalam berbagai peristiwa besar. Seperti, penumpasan PKI, PGRS-PARAKU, peristiwa Talang Sari, Tanjung Priok, DOM Aceh, kerusuhan antarkomunitas di Sanggau Ledo, Sambas, Sampit, Poso, Ambon, dan lainnya. Cerita tentang tugu, aku dapatkan pertama kali, ketika berhenti untuk makan di sebuah warung dekat Lanud 2 Singkawang. Dari perbincangan dengan beberapa orang di warung, muncul cerita tentang tugu. Aku menemui orang tua yang cukup lama tinggal di sana. Namanya Suminah, 95 tahun. Aku memanggilnya Mbah Suminah. Pendengarannya masih bagus. Cara bicaranya jelas sekali. Dia menjadi saksi dari beberapa peristiwa yang pernah terjadi di Sanggau Ledo. Perempuan itu lahir pada 1919 di Yogyakarta. Ia ke Kalimantan Barat pada 1945. Perjalanan menggunakan kapal barang dari Jakarta ke Pontianak. Butuh waktu empat hari. Dari Jakarta langsung menuju Singkawang. Setelah itu, naik bis Taiso menuju Sanggau Ledo. Suminah rumahnya dekat Lanud 2 Bengkayang. Jauhnya, tak lebih dari dua kilometer. Kebetulan, dia bekerja di kantin Lanud. Ketika gudang senjata AURI diserang oleh PGRS, sambungan telepon diputus PGRS. Setelah peristiwa itu, setiap malam orang berjaga. Semua jadi tak aman. Rumah di sekitar lapangan terbang, diperintahkan membuat benteng pertahanan dari karung pasir sebagai benteng. Karung diletakkan menggelilingi rumah masing-masing. Ketika peristiwa pengusiran terhadap orang Tionghoa, dia menjadi saksi dari peristiwa itu. “Banyak orang disuruh keluar rumah tanpa membawa barangnya,” kata Suminah. Ada juga orang Tionghoa menjual barangnya ke dia. Orang Tionghoa tahu, selain bekerja di dapur tentara, Suminah juga jual beli barang secara kredit, kepada penduduk di sekitar itu. Ada tiga mesin jahit ditawarkan padanya. Dia membelinya. Dua dijual lagi, dan satu digunakan sendiri. Merek mesin jahitnya, Singer. Mesin itu dibawa dengan gerobak yang dihela dengan sapi. Dulunya, orang Tionghoa biasa bertani, berkebun sahang, karet, dan memelihara babi. Dari Sungai Sanggau Ledo, semua komoditi tersebut langsung dibawa ke Sentete, Paloh, dan Sekura, Kabupaten Sambas. Barang diangkut melalui jalur sungai Sanggau Ledo. Seperti juga tugu yang berada di tengah sawah itu, Sumirah juga menjadi saksi dari peristiwa ethnic cleansing terhadap orang Madura pada 1997. Banyak yang terbunuh. Setiap hari ada yang dijagal. Banyak yang terbunuh. Ada mayat tak lagi utuh. Hilang kepala, jeroan, hati dan lainnya. Dia berdoa, peristiwa 1967 atau 1997, tak terjadi lagi. “Wis nak, mugi-mugi mboten wonten kedadian kados niki maleh. Ngeri....Ngeri,” kata Mbah Suminah. Pascatragedi Pergolakan, konflik, kerusuhan atau apa pun namanya, selalu menyengsarakan. Korban pertama dari peristiwa itu adalah rakyat. Ketika terjadi peristiwa demonstrasi, dan diikuti pengusiran terhadap etnis Tionghoa di pedalaman, efeknya sangat terasa. Tak hanya bagi orang Tionghoa, juga bagi warga Dayak. Tak ada yang jual bahan makanan. Banyak toko tutup dan ditinggal pergi pemiliknya. Kalaupun ada dagangan, hanya garam. Rakyat juga tidak punya uang. Pascaperistiwa pengusiran terhadap orang Tionghoa di pedalaman, tak hanya berimbas pada kehidupan pengungsi. Kehidupan orang Dayak di pedalaman, juga mengalami kesulitan luar biasa. “Berbagai kebutuhan pokok sulit dicari. Kalau pun ada, harganya selangit. Orang Dayak jadi tidak bisa membeli kebutuhan pokok,” kata Fung Jin. Distribusi barang dan perdagangan dikuasai orang Tionghoa. Ketika mereka terusir, secara otomatis, jalur distribusi barang juga terputus. Letkol (Pur) H. Zaenal Arifin, mantan Komandan Batalyon 402 Sintang dan Bupati Ketapang menuturkan, pascaperistiwa pengusiran, ada kebijakan dari Panglima Kodam Tanjungpura XII, Brigjen Soemadi. Pemerintah memberi modal pada para panglima Dayak yang dianggap berjasa, untuk mendistribusikan barang di pedalaman. Para panglima mendapatkan modal usaha. Setelah mendapatkan modal, mereka belanja di Pontianak, lalu dibawa ke pedalaman. “Tapi, memang dasarnya bukan bakat pedagang, modal yang diberikan ludes,” kata Zaenal. Semasa Kadarusno menjabat Gubernur Kalbar, juga ada operasi seperti itu. Pemerintah memberi modal pada para panglima, untuk menyuplai barang di pedalaman. Itu pun tidak berhasil. Zaenal pernah diminta menagih pada para panglima. Dia menjawab, tak tahu perjanjiannya seperti apa. Kalau harus menyita barang, apa yang harus disita? Apa rumah Betang itu? Dia juga tak tahu persis, berapa jumlahnya. Kebanyakan yang diberi modal di daerah timur. Seperti, Lanjak, Nanga Kantuk, dan lainnya. “Tapi yang jelas, modal itu tidak kembali,” kata Zaenal. Edward Tenlima atau Edo, mantan Danlanud Singkawang 2, Bengkayang, mengungkapkan, setelah orang Tionghoa mengungsi, pohon sahang atau lada, tidak ada yang merawat. Pohon menjadi mati. Orang Dayak tidak bisa merawat pohon Sahang, karena tidak tahu caranya. Punari, istri Edo, berkata, “Orang Tionghoa tidak mau mengajarkan cara bercocok tanam. Kalau pun orang Dayak bekerja pada kebun mereka, hanya membersihkan rumput. Berapa takaran memberi pupuk dan merawat Sahang, tidak diberitahu caranya.” Pada umumnya, orang Tionghoa di Bengkayang, bercocok tanam sahang atau karet, karena tanahnya subur dan ada hujan. Ada ekspor lada. Pascaperistiwa itu, pohon lada sebagian besar mati dan tak terawat. Dari segi pengamanan dan keamanan, efek dari peristiwa ini cukup lama. “Karena ini menyangkut masalah pengamanan, pemerintah selalu mengirim tenaga pengamanan ke Singkawang,” kata Darius Iskandar. Dari segi pergaulan sosial, peristiwa itu menorehkan trauma tersendiri. Yohanes J., pemuda dari etnis Tionghoa, dilarang orang tuanya pacaran dengan etnis Dayak. Alasannya, “Kan, orang Dayak yang mengusir kita dari pedalaman.” Namun, Tyhie Dju Khian atau Petrus, menyikapi lain permasalahan itu. Menurutnya, orang Dayak hanya dimanfaatkan pemerintah. Tapi, pemerintah tidak mau menampakkan dirinya. Orang Dayak tidak akan mau melakukan itu, kalau tidak disuruh. Petrus juga heran, mengapa peristiwa itu terjadi. Padahal pergaulan orang Tionghoa dan Dayak, sudah seperti saudara. Diantara mereka juga banyak kawin campur. Mereka rukun. Banyak orang Dayak diangkat anak oleh orang Tionghoa. Begitu juga sebaliknya. “Saya tidak mau mengajarkan anak saya membenci orang Dayak, karena saya tahu peristiwanya seperti apa,” kata Petrus. Akibat peristiwa itu, bahasa Khek juga mulai berkembang. Dulu, di Pontianak dan Ketapang, bahasa Teochiu digunakan sebagai bahasa perdagangan dan keseharian orang Tionghoa. Sekarang ini, kalau mau lancar berdagang, orang Tionghoa harus menguasai bahasa Khek juga. “Orang kalau tidak bisa bahasa Khek, payah berdagang,” kata Thong Fuk Long atau Tomidi. Pascaperistiwa itu, timbul persepsi baru di masyarakat, pendidikan kurang penting. Orang harus bekerja dan mencari uang. Kalau tak ada uang, orang akan susah dan tidak ada yang menolong. “Karena kalau kita susah, siapa lagi akan menolong mereka dari kesusahan,” kata Wijaya Kurniawan, Ketua Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT) Singkawang. Namun, ketika ekonomi sudah mulai mapan, perspektif untuk menyekolahkan anak setinggi mungkin, juga mulai muncul. Era 90-an, generasi baru berpendidikan tinggi, mulai muncul dari mantan keluarga pengungsi. Akibat peristiwa itu, Bengkayang menjadi daerah statis dan tidak berputar ekonominya. Selama puluhan tahun, sebegitu saja. Perdagangan dan jual beli tidak berjalan dengan baik yang menyebabkan banyak hasil rakyat tidak terjual. Sekarang ini Singkawang dan Kalbar aman, karena masyarakat sudah alami langsung peristiwa hebat, dan efek dari pengusiran yang dilakukan. Sehingga mereka akan berpikir panjang, bila mau membuat ulah atau bertindak anarkis. Orang Tionghoa yang terusir, karena tidak ada harapan untuk kembali ke daerahnya, mereka merantau ke berbagai daerah di Jakarta, Singapura, Hongkong, RRC dan lainnya. Bahkan, di Jembatan Lima dan Jembatan Besi, Jakarta, merupakan daerah sentra pengungsi dari Kalbar. Pada tahun 1970-an, banyak yang bekerja di PT Perkayuan di hutan Kalimantan. Jadi, mereka semua mencari hidup walaupun dengan tanpa pengalaman di bidang yang mereka terjuni. Akibat peristiwa ini, banyak perempuan Tionghoa kawin dengan lelaki Taiwan atau Hongkong. Perkawinan itu tidak lepas dari kemiskinan yang timbul, karena efek dari pengungsian yang terjadi. XF Asali, sesepuh dan tokoh Tionghoa di Pontianak bercerita, para pengungsi semula ditampung di semua yayasan Tionghoa. Yayasan biasanya mengurusi masalah sosial dan pemakaman. Tahun 1967, ada sekitar 25 yayasan di Pontianak. Yayasan mendapatkan sumbangan sukarela dari anggotanya. Dengan uang itulah, yayasan membiayai para pengungsi. Ketika itu, ia harus menerima pengungsi, masak air, dan menyediakan berbagai makanan. Para pengungsi menempati berbagai pabrik yang tidak lagi beroperasi. Seperti, pabrik Hemmes di Jalan Pelabuhan atau Yos Sudarso. Pabrik itu merupakan pabrik karet tapi sudah bangkut. Pabrik itu dikelola PT Hutan Raya. Daerah sepanjang pelabuhan merupakan areal pabrik semua. Banyak juga rumah atap untuk gudang karet di Siantan, digunakan tempat tinggal para pengungsi. Orang Tionghoa di Sungai Raya, kebanyakan pengungsi dulunya. Karena itu, mereka pakai bahasa Khek dari Singkawang. Daerah Siantan hingga Parit Jepang, Jungkat, juga tempat pengungsi. Dari Pontianak banyak menyebar ke Sungai Raya. Yang ketika itu masih berupa hutan. Pengungsi tak lama tinggal di Yayasan. Sekitar dua bulan, mereka sudah pada pindah ke berbagai tempat di sekitar Pontianak. Wali kota saat itu mengeluarkan peraturan, bahwa pengungsi harus segera pindah dari kota karena memperburuk kondisi kota. Harga tanah di Sungai Raya masih Rp 20 per meter, pada 1967/1968. Tapi orang tidak mau beli. Nah, para pengungsi ini menempati daerah tersebut. Mereka kerja di pabrik yang banyak terdapt di sana. Ketika itu ada bantuan dari PBB. Tapi, banyak juga bantuan yang tidak sampai ke pengungsi. “Banyak yang dikorupsi,” kata Asali. Kondisi sosial Pontianak saat itu, sebenarnya aman-aman saja. Masyarakat kalau tidak dipengaruhi oleh elit politik atau kelompok tertentu, tidak akan bergerak. Yang namanya orang dagang, tentu mereka butuh aman saja. Banyak anak kecil dibawa ke yayasan. Akhirnya, mereka ikut ke keluarga lain, menjadi anak angkat. Pada masa ini, menandai berdirinya induk Yayasan Bhakti Suci. Yayasan ini didirikan para tokoh masyarakat yang peduli pada kondisi saat itu. Yayasan Bhakti Suci didaftarkan melalui akta notaris No. 42, tanggal 19 Maret 1966, di hadapan Notaris M. Damiri di Pontianak. “Tujuan dari pendirian yayasan ini, membantu pemerintah mengusahakan penerbitan, pengaturan, penggunaan serta perawatan makam-makam di wilayah Kodya Pontianak, khususnya. Dan wilayah Kalimantan Barat, pada umumnya,” kata Asali. Pertama kali didirikan, Yayasan Bhakti Suci dipimpin dr. H. Soegeng. Wakil Ketua, Slamet Wariban. Sekretaris I, Aloysius Djais Padmawidjaja. Sekretaris II, Raden Slamet Prajitno. Bendahara I, Ng Ngiap Liang. Bendahara II, Ibrahim Saleh dengan pembantu teknis Ir. Ketut Kontra, Mas Soedarjo, Roostamiji, Then Hon Ciap. Pembantu umum, Andi Muis Sunusi, Petrus Anjin, Drs. Achmaddin, Donifansius Manurung, Syarif Sjamsudin, Nio Peng Hian dan Masharum. Yayasan Bhakti Suci didirikan oleh orang dari beragam etnis dan suku. Ini menunjukkan, adanya hubungan yang sebenarnya harmonis antara semua suku yang ada di Kalbar, saat itu. Esidorus, generasi Dayak terdidik dari Bengkayang, mengemukakan pendapatnya tentang peristiwa itu. Ketika itu, banyak kelemahan di masyarakat, karena SDM rendah, sehingga mudah terprovokasi. Masyarakat hanya menerima informasi dari satu arah saja. Bagi generasi muda, ada dua hal yang bisa dipetik dari peristiwa 1967. Secara positif, banyak hal bisa belajar dari kesalahan masa lalu. Ketidaktahuan masyarakat saat itu, sehingga muncul tragedi kemanusiaan. Masyarakat termakan isu yang tidak benar. Sisi negatif, dampak secara psikologis dan menyeluruh, khususya bagi orang Tionghoa yang kebetulan menjadi korban. Ada perasaan sedih, kehilangan, dan dampak lainnya. Menurutnya, sekarang ini, tak banyak generasi muda tahu tentang peristiwa ini, dan akar penyebabnya. Kalaupun tahu, mereka biasanya tak mau menyalahkan suku Dayak. Mereka melihat bahwa kedua suku menjadi korban politik. Masyarakat di akar rumput dimanfaatkan, sehingga mereka menjadi korban. “Sekarang ini, saya rasa tidak ada pengaruh yang besar. Tidak ada dendam. Peristiwa itu seolah-olah tidak pernah terjadi,” kata Esidorus. Mereka ini termasuk generasi ketiga, sejak peristiwa itu terjadi. Hal ini akan menjadi dongeng bagi generasi ketiga, karena tidak terjadi secara langsung. Artinya, mereka melihat segi positifnya. Peristiwa itu mengakibatkan nyawa orang lain meninggal. Hal itu tentu saja melanggar HAM. “Sekarang ini kalau ada penyesalan, kita bisa memahami diri. Sejarah akan kita jadikan pelajaran,” kata Esidorus. Generasi muda sadar bahwa hal ini tidak boleh diperpanjang dan ini menjadi catatan di hari depan. Ia berharap, generasi muda tidak boleh melupakan sejarah. Dari sejarah dapat mengambil nilai-nilai positif, dan akan menjadi bahan evaluasi dan bisa menjadi catatan, sehingga menjadi lebih baik. “Kedepannya, masyarakat harus lebih hati-hati dalam menanggapi berbagai macam isu,” kata Esidorus. Pada akhirnya, aku harus menutup tulisan bersambung ini dengan mengucapkan terima kasih kepada Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN). Yang telah memberi kesempatan mendapatkan pendidikan dan memberi dana liputan, sehingga bisa meliput ke Pontianak, Singkawang, Bengkayang dan Kuching. Semoga, kita semua bisa bercermin dari peristiwa yang pernah terjadi. Sejarah tak perlu diratapi. Sejarah menjadi cermin dalam melangkah. Menuju Indonesia lebih baik. Penuh kesetaraan, plural dan saling menghargai.(selesai)□

Baca selengkapnya..
by TemplatesForYouTFY
SoSuechtig, Burajiru