Sunday, February 17, 2008

Keberadaan MABT Tak Perlu Dipermasalahkan

Adanya salah satu pihak yang tidak menginginkan keberadaan majelis adat budaya Tionghoa (MABT) mengundang suatu pertanyaan yang menggelikan. Apakah pihak tersebut benar-benar paham mengenai budaya dan sejarah siapa yang menjadi leluhur atau penduduk asli di Kalbar? “Keberadaan MABT itu tidak perlu dipermasalahkan karena yang menjadi dasar dari itu adalah UUD 1945 pasal 18 ayat b, keberagaman budaya diakui negara,” tegas pengamat sosial dan hukum dari Universitas Tanjungpura, Dr. Hermansyah saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (9/01). Dipandang dari segi hukum, keberadaan MABT tidak melanggar hukum yang berlaku di negara Indonesia, mereka telah membentuk perkumpulan tersebut sesuai dengan prosedur yang berlaku. Apalagi, negara memberikan jaminan atas hak dan kebebasan kepada setiap warganya untuk mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 28. Sedangkan pada level internasional ada declaration of human rights, pasal 19: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan tidak memandang batas-batas.” Sedangkan dari segi sosial budaya, Dekan FISIP Untan, Prof. Dr. AB Tangdililing MA mengungkapkan, sangat sulit untuk menentukan siapa yang merupakan penduduk asli dan nenek moyang siapa yang menjadi leluhur orang Kalbar. Jika dikaitkan dengan antropologi, sebenarnya nenek moyang kita berasal dari ras yang sama yaitu ras Mongoloid, dimana pusat penyebarannya adalah di Asia Utara kemudian sampai ke Asia Tenggara, seperti Indonesia. Karena keadaan geografis, cuaca, iklim dan faktor lain yang berbeda dengan faktor ditempat asal maka bentuk tubuh, budaya, kebiasaan, adat-istiadat menjadi beranekaragam. Dengan demikian tidak bisa dikatakan bahwa salah satu pihak menganggap dirinya sebagai salah satu pihak menjadi penduduk asli. Menanggapi adanya pihak tertentu yang tidak menyetujui keberadaan MABT Hermansyah maupun Tangdililing menjelaskan, adanya masalah itu adalah suatu kewajaran yang timbul karena adanya rasa ketakutan yang berlebihan dari salah satu suku (ethnosentrisme) alasannya adalah adanya sejarah masa lalu masih dijadikan pandangan, seperti kerusuhan berbau SARA yang sering terjadi di Kalbar antara Madura-Dayak, Melayu-Madura, Dayak-Tionghoa. Ia menambahkan, bagaimana dengan suku Jawa yang sudah termasuk banyak di Kalbar, kenapa tidak pernah mengalami masalah? Kemudian timbulnya rasa kesadaran kelas yang tinggi yang menyebabkan mereka saling menafikan suku atau budaya yang lain. Di era globalisasi, rasanya sudah tidak relevan lagi jika masih berbicara mengenai rasa pluralisme yang berlebihan. Hermansyah bertanya, apakah budaya kita (Kalbar) memang asli? Namun semua budaya yang ada di Kalbar sekarang diakui oleh negara, karena hal itu merupakan hak asasi manusia (HAM). Masyarakat harus sadar bahwa mereka berada dalam lingkungan demokrasi dengan berbagai keberagaman. Begitu juga dengan warga Tionghoa yang ingin mengurus kebutuhan individu, keluarga, sosial karena setiap komunitas pasti mempunyai kebudayaan mereka. Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu, sekelompok warga mendatangi DPRD Kota Pontianak mempertanyakan keabsahan MABT. Namun hingga acara tersebut bubar, jawaban Dewan tidak memuaskan kelompok tersebut.□

0 komentar:

by TemplatesForYouTFY
SoSuechtig, Burajiru